28 Oktober 2012, malam. Gerah, sangat. Nyamuk-nyamuk berhamburan, berlomba menyedot darah dari tubuh mangsa yang renyah. Saya termasuk golongan mangsa tanpa perlawanan, yang saat itu terbaring di lantai, tanpa selimut dan tikar. Ini malam penderitaan saya. Saya tidur beralas debu, berbungkus jarum nyamuk. Sementara itu, keringat yang mengering di badan pun ikut mengobok-ngobok ketenangan tidur saya. Malam ini, salah seorang lelaki Timor tidur dengan gelisah di tengah peluh hawa Tarakan.  Tak tahan dengan itu, saya mengakhiri tidur dan pergi duduk di pojok teras. Ternyata di sana berkumpul teman-teman yang hobi gadang. Kami bergadang hingga sekitar pukul tiga subuh. 
***
 

      Tadi, dari Bandara Juwata, menggunakan truk, kami datang ke gedung gereja yang terletak di pusat kota Tarakan ini. Pak sopir menghentikan truk tepat di depan pintu gerbang pastori dan para lelaki meloncat dari atas truk ke tanah. Kemudian, perempuan-perempuan tertatih turun dari truk, disusul koper-koper. Seorang petugas gereja datang dan mempersilakan kami masuk ke halaman pastori.

    Tadi, kami dan koper-koper ditempatkan di aula gereja. Tiap-tiap orang, terutama para perempuan, terlalu sibuk mempersiapkan tempat pembaringan tubuh. Tadi, koper-koper telah dibuka, kain-kain telah di keluarkan dan dibentang sana-sini. Lantai telah dikapling-kapling dengan batas-batas yang tak disepakati. Terkecuali saya dan beberapa teman, tadi, kami tidak mengambil bagian dalam kegiatan itu. Kami tidak punya koper untuk dibuka. Kami adalah orang-orang yang kopernya masih tertinggal di Bandara El Tari Kupang. Na’as, memang. Seperti sudah saya ceritakan dalam kisah sebelumnya, koper saya dan beberapa teman tertinggal di Kupang. Baru akan diterbangkan pihak maskapai pada besok. Padahal pakaian, kain, perlengkapan lain, ada di dalam koper itu. Tas punggung yang saya bawa tidak menjamin apa-apa. Ia hanya berisi buku, laptop, dan beberapa alat tulis. Ia hanya saksi kelesah saya di antara hujaman malam dan hantaman nyamuk.

    Tadi, karena saya tidak sibuk membuka koper dan membentang kain, dengan beberapa teman kami mengunjungi salah satu warung makan untuk mengisi perut. Ayam lalapan dan kopi susu hangat berpindah dari perabot warung ke perut kami. Rasa yang terkoyak-koyak oleh kecapaian pun segar kembali. Baru saat itu saya menyadari betapa saya telah begitu jauh dari tanah Timor. Teknologi telah memindahkan tubuh saya dengan cepat, menyusup partikel-partikel udara yang tak kasat mata, mengembuni benak dengan lagu perantau. Dari kota terbesar di Nusa Tenggara Timur sampai ke kota yang kelak menjadi kota terbesar di Propinsi Kalimantan Utara ini, dalam waktu kurang dari 12 jam menyusuri jarak juataan kilometer. Rindu akan Flobamora tiba-tiba mengisi gelas kaca yang terhempas kelam ampas kopi. Saya bertanya pada sisa bening kaca yang belum terhempas ampas, apa sebenarnya rasa memiliki itu? Itu tadi. Sekarang, padang batin yang puitis telah gersang oleh gelisah tidur malam.

***

Di ambang pukul empat subuh, tubuh saya memberi signal darurat ke otak. Otak lalu meminta kehendak saya untuk tidur. Saya pun kembali menyerahkan tubuh kepada nyamuk-nyamuk. Kali ini saya tidur di atas sebuah papan di pojok ruangan, tanpa selimut, tanpa  mimpi, sampai pagi.

***

Pagi itu saya bangun dengan menyandang badan pegal-pegal. Ketika saya mengunjungi kamar mandi, ternyata Pak Marsel Robot-dosen pendamping rombongan, dan beberapa teman saya sedang membersihkan diri. Tadi malam Pak Marsel pun, bersama kami peserta rombongan, tidur beralas lantai dan menanggung hisapan nyamuk. Kelak, jauh hari nanti, ketika masa tugas kami di daerah sasaran sudah selesai dan kami kembali berkumpul di Kota Tarakan untuk kembali ke Kupang, lewat mulut seorang teman  saya mendengar cerita yang beredar bahwa petugas pastori telah keliru menempatkan seorang peserta rombongan pada kamar khusus yang disediakan untuk dosen pendamping ini. Begini kira-kira kronologis yang membuat Pak Marsel harus ikut menikmati malam penuh nyamuk bersama kami. Cerita ini berdasarkan versi teman saya:

            Saat diberitahu oleh utusan bahwa rombongan kami mohon izin menginap semalam di pastori gereja, petugas pastori yang mendengar berita dadakan itu tidak punya waktu untuk menyiapkan tempat bagi peserta yang berjumlah hampir seratus orang. Tetapi, ia dapat  menyiapkan satu kamar khusus untuk satu orang dosen pendamping. Begitulah asumsi pendahuluan yang dapat kita ambil, didukung fakta bahwa saat itu memang ada satu kamar yang disiapkan secara khusus. Karena kami baru pertama jumpa, saat kami dijemput masuk ke dalam halaman pastori, sang petugas kemungkinan sedang mengamat-amati setiap kami yang masuk, dia sedang mencari sosok dosen pendamping,  begitulah asumsi lanjutan yang dapat kita pakai, berdasarkan fakta bahwa saat kami masuk ke halaman pastori, petugas pastori terlihat sedang mengamat-amati. Saat itu, Pak Marsel Robot hanya menggunakan celana jeans, sepatu, dan baju kaos oblong. Sedangkan seorang peserta rombongan yang ditangkap oleh perhatian sang petugas, mengenakan jeans, sepatu, kemeja, dan jaket. Ditambah postur tubuhnya yang tinggi dan tambun, sang petugas mengambil kesimpulan berdasarkan tampilan fisik bahwa orang (yang sebenarnya peserta) itulah dosen pendamping. Begitulah asumsi ketiga. Fakta yang mendukungnya adalah,  sang petugas kemudian menyapa peserta tersebut dan mempersilakan peserta itu menempati kamar  yang telah disediakan secara khusus. Sang petugas juga mempersilakan kami, termasuk Pak Marsel, menempati ruang aula pastori. Peserta yang disangka dosen pendamping itu menikmati tidur semalam di kamar hangat dan kasur empuk, bahkan dijamu dengan kopi sore dan kopi pagi. Sedangkan dosen pendamping yang asli, Pak Marsel, bersama saya dan peserta lainnya meringkuk di gelanggang aula. Katanya, petugas itu baru sadar akan kekeliruannya  pada besok hari saat Pak Marsel, sebagai dosen pendamping, berterima kasih kepadanya. Kelak si peserta yang menikmati fasilitas kelas bisnis hasil kekeliruan petugas itu akan mendapat karmanya saat pembagian tempat tugas di Kabupaten Malinau. Ia ditugaskan di tempat yang sangat udik. Katanya, saat itu ia sempat memohon kepada Pak Marsel untuk membantu melakukan lobi agar ia bisa ditugaskan di tempat lain yang lebih gampang aksesnya, tetapi Pak Marsel menguatkannya dalam sebuah kalimat pendek: "Nikmatilah, Nak. Itu nasibmu". Sebagian teman memang bercanda bahwa peserta itu mendapat karma, tetapi saya lebih menganggap bahwa peserta itu mendapat kesempatan mengukir kisah yang unik, yang kelak terdengar merdu dan menarik, kala di suatu saat nanti  ia tuturkan kepada anak cucunya.

           

***

Setelah menikmati sarapan di warung sekitar, saya dan beberapa teman - kami orang-orang yang membelot kemarin -  akan berangkat ke pelabuhan untuk bergabung dengan rombongan asal kami, tujuan Kabupaten Nunukan. Menggunakan speed boat kami akan menyeberang ke Nunukan. Di Tarakan ini, rombongan kami akan berpisah dengan rombongan tujuan Kabupaten Malinau. Pak Marsel beserta rombongannya pun akan menggunakan speed boat ke  Kabupaten Malinau. Sebelum ke pelabuhan, saya dan beberapa teman buru-buru pergi ke bandara untuk menjemput koper-koper kami yang baru sampai dari Kupang. Akhirnya koper kesayangan saya berjumpa dengan saya. Masih utuh. Tidak seperti koper beberapa teman yang sempat sobek. Bahkan, ada koper teman yang sampai memuntahkan benda-benda privasi dari cela sobekan, yang mewajibkan pemiliknya buru-buru mengganti koper. Dari bandara kami menuju pelabuhan Tengkayu 1. Sesampai di sana, teman-teman lain telah menyesaki jembatan dermaga. Kami akan segera mengapung di atas permukaan air. 

 

SoE, 7 Agustus 2020 cq Tarakan, Oktober 2012

Jek Atapada

 

2 تعليقات

Jangan lupa tulis komentarmu di kolom komentar

  1. Tulisan lamaplama denganydengan muatan baru ketika membaca terasa penasaran sukses terus Adek....sampai titik nadir kebimbangan lalu hadir rasa ingin membacanya

    ردحذف

إرسال تعليق

Jangan lupa tulis komentarmu di kolom komentar

أحدث أقدم