Cerpen Jek Atapada

Sumber gambar ilustrasi: https://cdns.klimg.com/merdeka.com/i/w/news/2018/08/21/1004261/content_images/670x335/20180821142719-1-lukisan-balita-usia-3-tahun-di-karawang-001-debby-restu-utomo.jpg
Lina masih duduk di pinggir lubang. Sekitar dua sampai tiga menit lagi barulah linang air dari ceruk akan kembali menggenangi lubang. Masih ada lima buah jerigennya yang belum diisi. Di sampingnya, Opa Musa antre dengan sabar. Selusin jerigen kosong bertebaran di dekat kaki Opa Musa. Dua orang ibu, yang juga sedang menunggu giliran menimbah, sedang duduk di atas batu sambil makan sirih pinang.

Kekeringan melanda kampung. Sudah tahun ke tiga Lina dan warga kampung lainnya menjalani masa kemarau panjang. Beberapa mata air di kampung telah kering disedot penduduk untuk bertahan hidup. Tinggal mata air ini, mengalir dari sebuah ceruk di bawah akar sebuah pohon beringin, menggenangi lubang berdiameter sekitar 50 centi meter dengan dalam sekitar 40 centi meter. Inilah satu-satunya sumber mata air yang tersisah,  terletak di pinggir kampung.

Penduduk kampung menimbah air dari lubang ini dengan cara menggayung. Setelah menggayung sekirat 100 liter air, si penggayung harus rela menunggu satu hingga dua menit sampai air kembali menggenangi lubang,  barulah dapat menggayung lagi. Di samping lubang itu, dari cela-cela batu mengalir segelintir air. Gelintir yang linang itu dialirkan  ke pancuran bambu. Itulah air yang digunakan untuk keperluan cuci dan mandi. Jika ada hewan nakal yang mengorek-ngorek lumpur di pangkal pancuran saat kamu sedang mandi, kamu harus menghalau binatang-binatang itu agar air dapat kembali jernih. Tahun lalu batang air di mulut pancuran masih sebesar ibu jari tangan. Sekarang telah kurus  sampai seukuran  jari kelingking.

Melihat Opa Musa yang gigih ber-antre, Lina  merasa iba dan batal mengisi jerigennya yang masih kosong.  Ia menggantung jerigen-jerigen yang masih kosong di ranting kayu kemudian mempersilakan Opa  Musa menimbah.  Tantangan berikut bagi Lina adalah mendaki bukit sambil membawa jerigen-jerigen berisi air, berjalan sekitar satu kilometer ke area perumahan penduduk. Rutinitas yang sama dijalani semua warga kampung yang memanfaatkan air dari sumber mata air tersebut.

***

            Lina merupakan putri semata wayang kepala kampung. Selain sebagai kepala kampung, ayahnya merupakan  usif[1] di kampung itu. Suatu malam, dalam dingin dan hening kampung, tiga anak buah  Ako Ceong berkunjung  ke rumah Lina. Mereka bercakap-cakap dengan ayah Lina di ruang depan. Ibu Lina menjadi lebih sibuk dari biasanya. Tubuh ayam jago di atas pohon telah dipindahkan ke dalam kuali di atas tungku, di samping periuk nasi yang sedang mendidih. Lina mendapat tugas mengelap piring-piring batu yang baru keluar dari lemari perkakas ibunya.

“Curah hujan yang sedikit ini cocok untuk bawang karena kampung ini dingin dan berembun.” Suara salah satu anak buah  Ako Ceong menyeruaki dingin malam bersama bauh beer dan asap rokok. “Bos bilang kita seperti kali lalu. Bos tanggung modal, Bapa tanggung kerja. Hasilnya, seperti biasa.”

Ayah Lina punya banyak bidang tanah. Ako Ceong, yang sudah lama kenal dengan ayah Lina, menawarkan  kerja sama dalam  berbisnis  bawang  merah. Ako Ceong akan menyuplai bibit dan obat-obatan, sedangkan urusan lahan dan tenaga kerja diserahkan kepada ayah Lina. Lahan yang dibutuhkan kira-kira tiga hektare. Malam itu terjadi kesepakatan bisnis antara ayah Lina dan Ako Ceong. Telinga Lina turut hadir sebagai saksi kesepakatan itu.

***

Domi baru saja menyelesaikan kuliahnya pada jurusan peternakan di Kota Kupang dan telah diwisudah dua bulan lalu. Di masa kuliah, Domi juga bekerja sebagai penjaga lahan cabai, milik salah satu  dosennya. Waktu kuliah, selain mendapat upah sebagai penjaga kebun, keuangan Domi bersumber dari sepuluh ekor ayam petelur yang ia ternak di lahan tempat tinggalnya.

Usai wisudah Domi memilih pulang kampung dan memulai usaha beternak. Dia mendapat tawaran modal usaha dari dosen pemilik lahan tempat kerjanya dahulu. Bersama beberapa anak muda di kampung, Domi membangun kandang-kandang untuk  beternak ayam kampung dan ayam petelur di salah satu kebun ayahnya. Kebun yang sunyi menjadi hidup oleh kegiatan pembangunan kandang. Rencananya, setelah kandang selesai, Domi akan menemui dosennya untuk pencairan modal usaha. Bibit ayam petelur  akan didatangkan dari Kupang,  ayam kampung akan dibeli dari penduduk kampung, air akan dibeli dari sopir  pick up. Rasanya Domi tak sabar mewujudkan mimpinya untuk membuka lapangan pekerjaan bagi dirinya, juga bagi  pemuda kampung.

Lina sangat senang berjumpa dengan Domi. Dia sering bertanya kepada Domi dan mendengar penjelasan Domi. Sebagai siswa kelas IX SMP, Lina tergolong dalam tipe siswa dengan rasa ingin tahu yang tinggi. Akhir-akhir ini dia tak dapat belajar di sekolah seperti biasa karena pandemi covid 19. Perjumpaannya dengan Domi membawa keasyikan tersendiri dalam hidupnya.  Domi cerdas dan ramah. Penjelasannya sederhana tetapi berisi. Dari Domi, Lina lebih mudah paham tentang apa sebenarnya hakikat ilmu matematika, ipa, ips, dan ilmu-ilmu lainnya yang ia dapat di sekolah. Salah satu penjelasan Domi yang menarik perhatiannya adalah keseimbangan ekosistem.

Bencana alam seperti kekeringan dan sebagainya bisa terjadi karena keseimbangan alam terganggu, cerita Domi pada suatu hari. Hari itu Lina mendapat pengetahuan bahwa kebiasaan membuka ladang secara berpindah-pindah, sebagaimana kebiasaan masyarakat  di kampungnya, dapat menyebabkan kekeringan. Jika hutan terus ditebas, persediaan air tanah permukaan akan menurun karena akar pohon dan akar tumbuhan lainnya yang berfungsi menyerap air hujan dibabat. Hasilnya, mata air mengering, orang menjadi sulit mendapatkan air bersih.

***

Upacara permohonan minta hujan telah dilakukan sebulan lalu. Saat itu para tetua kampung menemui usif untuk menyampaikan permintaan penyelenggaraan ritual Toit Ulan[2] karena kemarau yang berkepanjangan. Setelah mempersiapkan sesajen dan menyucikan diri, mereka  berkumpul di sebuah lahan. Di atas mesbah yang telah dipersiapkan, dipimpin usif, melalui natoni[3] adat, doa permohonan dipanjatkan dengan khusuk kepada Uis Neno dan Uis Pah[4] agar kiranya hujan segera turun  dan bencana kekeringan dapat berakhir. Ayam disembelih, darah membasahi batu mesbah, memateraikan permohonan. Sekarang, dengan sabar mereka menunggu jawaban dari Sang Penguasa Langit dan Bumi. Akankah permohonan mereka segera dikabulkan? Ataukah seperti dua tahun yang telah berlalu, curah hujan tetap datang terlambat dan  kekeringan tetap menggerogoti isi kampung?

***

            Hari-hari penuh harap itu tiba-tiba disusup desas-desus bahwa seorang warga kampung telah mengeluarkan sebuah kalimat  yang tidak pantas kepada usif. Orang itu mengatakan bahwa bencana kekeringan disebabkan oleh perbuatan masyarakat kampung, terlebih usif. Penduduk kampung geger. Baru kali ini ada warga kampung  yang dengan lancang telah menyalahkan usif. Padahal usif adalah wakil dari Uis Neno  dan   Uis Pah. Melawan usif berarti melawan wakil Penguasa Langit dan Bumi. Konsekuensi dari itu adalah kampung akan ditimpa bencana seperti kekeringan dan gagal panen. Dan, di tengah masa bencana kekeringan ini, seorang warga telah lancang terhadap usif. Akankah musim kekeringan akan bertambah panjang? Ataukah kampung akan dihantam bencana lain? Hal ini menjadi bahan pembicaraan warga kampung, baik di rumah, di kebun, atau di hutan.

***

            “Belukar itu jangan ditebas, Bapa. Belukar itu melindungi satu-satunya mata air di kampung kita,” Domi menyampaikan maksudnya.

            “Itu belukar saya. Saya berhak mengolah tanah saya, mencari makan di atas tanah saya. Saya tidak mencuri, tidak membunuh, tidak merampas hak orang lain, kenapa kau halang-halangi, hah?”

            Kepala kampung gusar mendengar penyampaian Domi. Anak ingusan ini ternyata tidak saja berani di belakang-belakang tetapi telah berani menentangnya secara langsung. Meskipun demikian, sebagai kepala kampung, dia harus tetap terlihat tenang.

            “Ini juga untuk kepentingan warga kampung. Kalau lahan itu dibuka, warga kampung akan mendapat upah sewa tenaga. Begitu pun saat hasil ditimbang, tiga persen dari penjualan masuk kas kampung,” Kepala kampung berusaha meyakinkan Domi.

            “Tetapi nanti bukit itu gundul, Bapa. Akar pohon dan tumbuhan lain yang menahan air akan hancur. Mata air yang  kita pakai sekarang, di hulu lahan itu, bisa kering. Hutan di gunung-gunung kita, bahkan yang di dekat  sumber mata air, hampir semua sudah ditebas warga jadi kebun. Akibatnya, sekarang kita kekeringan.

            “Air itu Tuhan yang beri, bukan urusanmu. Kenapa kau urus urusan Tuhan, hah? Kemarau ini bencana. Kita sudah memohon kepada Uis Neno agar hujan segera turun. Tetapi kita tidak boleh hanya duduk dan tunggu hujan. Kita harus kerja. Buat hal-hal yang bisa kita buat. Bos itu mau bantu kampung kita. Dia mau lahannya terpusat di satu tempat. Dia sendiri yang pilih  lokasi  itu karena tanahnya pas untuk bawang.”

            Akhirnya Domi  pamit dengan rasa kecewa. Kepala kampung tidak mau menerima pendapatnya dan tetap akan menebas belukar di dekat mata air satu-satunya di kampung itu. Dari cela daun pintu dapur Lina menatap punggung Domi yang perlahan hilang ditelan tikungan. Lina tahu bahwa Domi kecewa. Telinganya telah menyaksikan pembicaraan Domi dan ayahnya, tadi. Lina pula yang telah memberitahu Domi tentang rencana bisnis ayahnya.

***

            Opa Musa sedang duduk di balai-balai bambu. Sambil bercerita, ia  mengupas biji kemiri yang menumpuk di depannya dengan alat pemukul. Di sampingnya, Lina membantu memisahkan biji kemiri yang telah terkelupas dari kulitnya.         

“Dahulu, air melimpah di desa kita. Ada dua sungai kecil di kampung ini. Satu di pinggir kampung, tempat mata air kita sekarang. Satu lagi , bekasnya lewat di samping rumahku  ini. Waktu masih anak-anak, kami sering menangkap udang, ikan,  dan belut di dua sungai ini.”

Sambil mengunyah sirih pinang, Mulut  Opa Musa berkisah tentang kehidupan di alam desa nan subur pada masa kecilnya. Lina tenggelam dalam cerita Opa Musa. Lina sedang melihat kampung yang permai, makanan dari hasil alam melimpah, air melimpah, tanaman umur panjang melimpah, hewan ternak melimpah. Lina melihat anak-anak kampung sementara bermain cipratan air di sungai, ibu-ibu sedang mencuci, dan dua orang lelaki sedang memberi minum sapi-sapi di pinggir sungai. Pohon-pohon rindang menaungi kampung dan gunung, bahkan ada pohon yang berdiameter sebesar pelukan tiga orang lelaki dewasa digabung, berdiri di pinggir sungai. Sungai itu mengalir di pagi yang teduh, di  senja yang dayu,di malam yang syahdu,  melembabkan tanah, melembabkan Eden kecil, tempat sekelompok manusia hidup dan menghidupi.     

***       

            Tiba-tiba petugas dinas kehutanan dari kabupaten datang ke lokasi lahan saat kepala kampung dan sejumlah warga lelaki sedang menebas belukar. Petugas menemui kepala kampung dan menjelaskan bahwa lahan tersebut tidak boleh ditebas karena termasuk dalam kawasan daerah aliran sungai.

“Hutan ini masuk dalam daerah hutan lindung. Berada di pinggir sungai. Kalau Bapak-Bapak menebas hutan ini, Bapak-Bapak bisa dikenakan sanksi sesuai peraturan yang berlaku,” demikian pak petugas memberi penjelasan.

***

            Kepala kampung sangat geram terhadap Domi  gara-gara  hubungan bisnisnya dengan Ako Ceong terancam gagal. Siapa lagi yang memberitahu petugas kabupaten tentang penebasan hutan itu kalau bukan Domi? Cerita dari mulut ke mulut mulai beredar bahwa Domi telah berani menggagalkan rencana kepala kampung, atau lebih ngeri lagi: menggagalkan rencana usif. Bahwa kehadiran Domi telah mengacaukan tatanan kampung. Beberapa hari kemudian beredar sebuah isu baru bahwa bencana kekeringan yang terjadi ini akibat ketidaktaatan masyarakat kepada usif. Ada warga yang sudah tidak tahu adat lagi, tidak tahu menempatkan diri dalam tatanan masyarakat. Orang itu adalah Domi.  

            Akhirnya Domi resmi dianggap sebagai pengacau tatanan kampung. Bahkan dianggap penyebab hujan yang belum turun sampai saat itu, karena perbuatannya yang melawan usif. Di ujung suatu senja, di ruang depan rumah kepala kampung, di bawah liuk nyala pelita, beberapa tetua kampung berdiskusi serius.

            “Ya, dia harus diusir dari kampung,” ujar kepala kampung menutup pembicaraan.

***

            Setelah mencoba membela diri, akhirnya Domi menyerah. Dia tidak mampu menahan tekanan beberapa tetua kampung yang memintanya pergi dari kampung. Ayah dan ibunya pun tak dapat berbuat banyak menghadapi tekanan tetua kampung, atas nama warga kampung. Akhirnya, keesokan harinya, Domi dengan sedih hati meninggalkan kampung halamannya, pergi mengadu nasib di Kota Kupang. Setelah kepergian Domi, penebasan belukar untuk lahan bawang dilanjutkan. Berkat lobi yang dilakukan Ako Ceong, pembukaan lahan bawang dapat dilanjutkan kepala kampung tanpa takut terjerat sanksi hukum.

***

            Lina sedang duduk di sisi jerigennya, menunggu dua atau tiga menit lagi linang  air kembali memenuhi lubang. Matanya menerawang jauh menyusuri kelok bekas air sungai yang kini dialiri segelintir air. Di kelok terakhir tempat ujung matanya berhenti, dia melihat air perlahan-lahan memenuhi kelokan. Sebuah sungai indah terbentang di hadapannya.  Opa Musa yang masih kecil sedang bermain cipratan air,  sementara  ibu-ibu sedang mencuci di bawah pepohonan rindang. Seorang lelaki bersama anaknya sedang memberi minum sapi-sapi mereka, mengguncang bayangan senja di permukaan kolam yang jernih. Beberapa ekor ikan meloncat ke permukaan air untuk  mengintip daratan. Tiba-tiba tangan ayahnya bersama tangan-tangan warga kampung merampas pemandangan itu dari hadapan Lina. Mereka mengoyak-ngoyak pemandangan itu kemudian memasukkan ke dalam rahang Ako Ceong yang dengan rakus terus melahap-lahap.  Pikiran Lina meloncat kepada Domi  yang telah pergi. Lina merasa sangat menyesal dan sedih. Beberapa hari lalu, secara diam-diam dia telah mencoba membantu Domi. Linalah yang  menyampaikan rencana bisnis ayahnya kepada salah seorang gurunya dan memohon agar gurunya meneruskan informasi tersebut ke Dinas Kehutanan Kabupaten. Hasilnya, Domi yang tak berdosa harus diusir dari kampung,  pembukaan lahan bawang pun dilanjutkan. Lina sangat menyesali keputusannya. Tiba-tiba dia merasa rindu memberontak sampai diusir dari kampung, jika itu harga perjuangan membela alam kampungnya, membela gelintir air yang masih linang di hadapannya, yang sedang dia tunggui.

                                                                                                            Kupang, 26 Juli 2020



[1]  Usif: (bahasa Dawan) sebutan untuk raja atau turunan raja dalam masyarakat Timor Dawan-NTT.

[2] Toit ulan:  ritual masyarakat suku Timor Dawan di  NTT,untuk  meminta hujan kepada penguasa langit dan penguasa  bumi.

[3] Natoni: tuturan adat masyarakat Suku Timor Dawan-NTT, berupa syair, biasanya dituturkan pada kegiatan sosial dan ritual adat.

[4] Uis Neno dan Uis Pah: penguasa langit dan penguasa bumi.

 

Cerita ini masuk kategori 40 besar  dalam lomba menulis cerpen tingkat nasional, tahun 2020, yang diselenggarakan oleh @ikutlomba: https://ikutlomba.org/pengumuman-pemenang-lomba-menulis-cerpen-3-bumiku-saat-ini/

Post a Comment

Jangan lupa tulis komentarmu di kolom komentar

Lebih baru Lebih lama