Sumber ilustrasi: https://images.app.goo.gl/DPgFn1Fm9SBRJcwP6
 
           Tubuh kami berayun di buai gelombang. Moncong speed boat menjilat permukaan laut, menggeser riak air, dan menjadikannya kenangan. Ombak mengguncang kapal. Beberapa perempuan, rekan rombongan saya, muntah-muntah. Untungnya,  tidak perlu waktu lama bagi tubuh saya mencapai titik penyesuaian keadaan. Beberapa kali menyeberangi Selat Ombai dengan kapal feri telah memberi bekal bagi mental saya untuk tidak terlalu panik di tengah ombak. Tetapi, baru kali ini saya menggunakan speed boat. Peti kemasan berbahan fiber ini ukurannya tidak jauh berbeda dengan bus luar kota. Dan, kita tahu bahwa semakin kecil benda, semakin terasa lekak-lekuk gerakannya di atas riak arus laut. Itu hukum alam yang  bisa membuat kepalamu pening. Dan, dengan kepala pening saya berusaha memejamkan mata agar tertidur. Tiba-tiba senandung Franky Sahilatua melintas di depan saya: perahu negeriku perahu bangsaku, jangan retak dindingmu. Meski perahu negeri ini sering diretak dindingnya oleh tangan-tangan jahil, dalam perahu sungguhan ini saya, juga semua orang di dalamnya, tentu, ingin selamat sampai tujuan..

            Kami sedang menyeberangi laut sepanjang pantai timur Kalimatan, tempat sungai-sungai tumpah dari pegunung membawa beribu kisah. Di atas kisah-kisah itu kami sedang meninggalkan Kota Tarakan dan merayap menuju Kota Nunukan, ibu kota kabupaten Nunukan. Di pelabuhan Nunukan beberapa petugas tentu sedang menunggu kedatangan rombongan kami. Atau mungkin saja mereka sudah jenuh menunggu. Mungkin di antara mereka ada yang bersungut: ah, terlalu lama.

***

            Di penghabisan senja kami tiba di sebuah kompleks bernama Balai Pelatihan Ketenagakerjaan (BLK). Ini tempat pelatihan para tenaga kerja Indonesia (TKI) yang menempuh jalur legal untuk mengadu nasib di negeri Jiran. Sebelum para TKI diberangkatkan untuk membantu orang-orang asing, beberapa minggu di tempat ini mereka  harus diberi bekal pelatihan. Dengan demikian mereka akan berangkat tidak saja dengan mengenakan otot tetapi juga membawa otak cemerlang. Jika seluruh TKI mengikuti jalur seperti ini, mungkin bencana kekerasan fisik yang sering dialami TKI, yang sering dipamer di berita-berita media, dapat diminimalisir.

Kompleks balai  ini terletak beberapa kilometer dari pusat Kota Nunukan. Tadi, sesampai di pelabuhan speed boad Kota Nunukan, para penjemput dari dinas perhubungan mengarahkan kami naik bus. Bus membawa kami ke kompleks BLK ini. Kami tiba di sini  menjelang malam. Petugas BLK mengarahkan kami menempati dua gedung penginapan. Peserta jenis pria dan jenis wanita masing-masing menempati satu gedung. Di dalam gedung terdapat fasilitas pembaringan tubuh. Ada beberapa tempat tidur bertingkat, lengkap dengan kasur. Juga ada beberapa lemari tempat menyimpan pakaian dan perlengkapan lainnya. Masing-masing kami memilih satu tempat pembaringan tubuh. Ada juga dua atau tiga orang menggunakan satu tempat tidur. Mereka kongsi.

            Sekitar pukul sembilan belas koordinator rombongan meminta kami mengumpul uang untuk membeli makan malam. Menurut beberapa informan, letak warung makan agak jauh dari tempat penginapan kami sehingga cara efektif untuk manejemen urusan makan malam rombongan saat itu adalah dengan mengutus beberapa orang untuk membeli makanan dan air minum.

Setelah menyerahkan uang, saya mendapat jatah masuk kamar mandi. Satu ember air menjalar ke tubuh saya. Setelah menyabun tubuh dan membilas berulang-ulang dengan air, kulit saya tetap terasa licin. Mungkin air di bak sudah lama tidak diganti petugas, atau memang air Kota Nunukan yang  demikian, entahlah. Beberapa rekan yang telah selesai mandi pun membicarakan hal itu.  Tetapi  bagi saya, selagi hal itu tidak mengubah saya menjadi belut, tidak masalah. Meminjam penggalan puisi Soe Hok Gie saya berbisik kepada sisah air di tubuh saya: aku terima kau dalam keberadaanmu seperti kau terima daku.  

            Setelah makan malam, bersama beberapa teman kami berbagi cerita dengan petugas BLK. Ada beberapa informasi dari petugas BLK yang mengusik pikiran saya sebelum  kantuk menggayang mata dan menjadikan saya seonggok daging tanpa kesadaran sampai pagi. Kelak, ketika kami sampai di tempat tugas, cerita-cerita itu pun akan sempat mengganggu kami.  

Pagi-pagi kami tidak kesulitan mencari sarapan. Ternyata ada tiga kedai kecil mengepung keberadaan kami. Rupanya tadi malam petugas BLK tidak memberitahu keberadaan kedai-kedai tersebut kepada koordinator. Mungkin petugas itu berpikir bahwa level kami adalah warung-warung bersertifikasi. Padahal minum kopi  dan makan di kedai kaki lima lebih asyik dan lebih murah. Itu dunia paling cocok buat orang-orang biasa sejenis saya, itu rumah paling cocok merangsang imajinasi sebelum melakoni kisah  drama kehidupan selanjutnya di Tanah Borneo. 

             

Kupang, 4 Maret 2021 cq Nunukan, Oktober 2012 

By: Jek Atapada

Post a Comment

Jangan lupa tulis komentarmu di kolom komentar

أحدث أقدم