(Cerita rakyat Kecamatan Alor Selatan, Kabupaten Alor) 
Ditulis oleh Jek Atapada


Kampung Lamantaga adalah sebuah gunung yang tinggi, berdiri kokoh di daerah Kecamatan Alor Selatan, Kabupaten Alor. Dahulu, di kampung ini hidup dua orang anak perempuan bernama Tallamang dan Fielamang. Kedua anak perempuan ini tinggal dengan ibu serta seorang saudara laki-laki mereka sedangkan ayah mereka telah meninggal.
Seiring berjalannya waktu, kedua anak perempuan ini tumbuh menjadi dua orang gadis yang cantik. Kecantikan kedua gadis ini tersiar ke kampung-kampung sekitarnya sehingga banyak  pemuda yang datang untuk melamar mereka. Meskipun sudah banyak pemuda yang datang melamar, namun tak satu pun yang diterima oleh kedua gadis tersebut. Melihat hal itu, saudara laki-laki mereka  menjadi gelisah dan akhirnya marah kepada kedua saudarinya.
“Kalian berdua, semua laki-laki yang datang melamar kamu, kamu tidak terima. Lalu kamu mau kawin dengan siapa? Apakah jin air dan jin laut yang datang kawin dengan kamu baru kamu mau? ”Bentak lelaki itu kepada kedua saudarinya.   
Sampai di sini, cerita ini akan dibagi menjadi dua bagian, yakni kisah Tallamang dan kisah Fielamang karena kisah perjalanan kedua tokoh ini berbeda.


Tallamang
Waktu berputar  meninggalkan hari Tallamang dan Fielamang dimarahi saudara mereka. Seiring dengan waktu itu juga, perut Tallamang semakin membesar. Melihat hal itu ibunya menjadi curiga, jangan-jangan ada sesuatu yang terjadi atas diri putrinya.
“Nak, mari sini. Biar mama cari kutu di kepalamu.” Kata ibu Tallamang di suatu hari.   
Ibu Tallamang lalu mencari kutu anaknya. Sambil membelai-belai rambut anaknya,  ia sengaja menangkap seekor semut dan memasukkannya ke dalam kain anaknya.
”Mama, ada sesuatu menggit perut saya.” Jerit Tallamang.
”Kalau begitu cepat buka kainmu. Biar kulihat apa yang menggigitmu.”
Tanpa pikir panjang Tallamang lalu membuka kainnya. Sambil mengamati perut Tallamang, ibunya menangkap semut yang mengigit perut itu. Ternyata puting susu anaknya telah menghitam, tandanya bahwa Tallamang hamil.
”Nak, lelaki mana yang selama ini bersama-sama denganmu?” Tanya ibu Tallamang.
Tallamang hanya membisu.
”Katakanlah, Nak. Biar kita urus  baik-baik.” Ibunya membujuk Tallamang agar memberitahu lelaki mana yang menghamilinya.
Tallamang hanya membisu. Ia bingung harus mengatakan apa. Semuanya terjadi seperti mimpi.
***
Malam pun datang. Lelaki itu datang lagi menemui Tallamang.
”Di mana rumahmu dan siapa kau sebenarnya? Temuilah orang tuaku agar keluargaku tahu bahwa kau yang selama ini datang kepadaku.” Kata Tallamang kepada lelaki itu.
”Kalau begitu kita pergi saja ke kampungku.” Kata lelaki itu.
Dalam sekejap, tiba-tiba Tallamang sudah ada di sebuah perkampungan. Perkampungan  itu sangat asing baginya. Itulah kampung Jin air. Jin air itu bernama Mai Mata, tinggal di sebuah kolam bernama Mata, sebuah kolam yang  terletak kurang lebih dua kilo meter dari kampung Lamantaga. Mulai saat itu Mai Mata mengambil Tallamang sebagai istrinya.
 Kehidupan berjalan sebagaimana adanya. Tallamang pun bekerja seperti biasa. Setiap hari ia pergi ke kebunnya. Namun, karena ia telah menikah dengan jin air, ia tidak tahu lagi jalan kembali ke kampung Lamantaga.
Suatu hari, ketika Tallamang sedang bekerja di kebunnya, ia mendengar bunyi gong. Ia berhenti bekerja dan mendengar dengan saksama. Suara gong itu datang dari bukit Lamantaga. Ia kenal betul suara gong itu. Itu adalah suara gong pusakanya. Tallamang tidak mampu membendung air matanya. Kemudian tetes air mata membanjir di pipi seorang anak perempuan yang teringat akan bangsanya.
Ketika pulang dari kebun, Mai Mata melihat mata istrinya bengkak.
”Kenapa matamu?” Tanya Mai Mata kepada istrinya.
”Mataku digigit semut.” Jawab Tallamang.
Besoknya Tallamang pergi ke kebunnya. Ia masih mendengar suara gong yang ditabuh. Ia tahu, itu tanda akan diadakan pesta keluarga. Semua keluarga akan berkumpul untuk mengadakan pesta. Mereka yang tinggal di dekat maupun di kampung yang  jauh akan datang berkumpul bersama, perkumpulan sesama sanak saudara. Tetapi Tallamang, ia hanya tak mampu menahan rasa sedihnya. Ia menangis karena teringat akan keluarganya yang tak bisa ia jumpai lagi. Sore hari ia pulang dengan mata bengkak.
”Kenapa matamu?” Tanya suaminya.
”Semut yang menggigit mata saya.” Jawab Tallamang.
Suami Tallamang tidak percaya bahwa mata istrinya bengkak karena digigit semut. Oleh sebab itu, besok hari, ketika Tallamang pergi ke kebun, Mai Mata, suaminya,  membuntutinya. Ketika Tallamang sampai di kebun, Mai Mata bersembunyi di pinggir kebun dan mengintipnya.
Tallamang yang mendengar lagi bunyi gong pusakanya, tak mampu menahan rasa sedihnya. Ia menangis lagi. Melihat itu,  Mai Mata keluar dari tempat persembunyiannya.
”Mengapa engkau menipuku?  Selama ini kau katakan bahwa semut yang menggigit matamu. Ternyata kau menangis. Apa yang kau tangisi?” Tanya Mai Mata kepada istrinya.
”Saya mendengar bunyi gong pusaka kami.” Jawab Tallamang di antara isakannya. ”Itu tandanya akan diadakan pesta. Semua keluarga akan berkumpul.”
”Mengapa kau tidak beritahu  padaku? Kita bisa pergi ke sana.” Balas Mai Mata.
***
Pesta pun dimulai. Semua kaum keluarga telah berkumpul. Mereka berkumpul di bawah [1]gudang adat. Ketika itu terdengar bunyi gong di pinggir kampung?
”Hei, anak perempuan[2] mana lagi yang datang? Bukankah semua anak perempuan telah datang?” Tanya seorang kepada yang lain.
”Semua anak perempuan telah datang, kecuali  anak perempuan kita, Tallamang dan Fielamang yang hilang itu.” Jawab seseorang.
”Lalu siapa yang datang?”
”Kita tunggu saja. Kita lihat nanti siapa yang datang.” Ujar seorang lagi.
Tak lama kemudian, muncullah serombongan orang. Ketika memasuki tempat pesta, semua orang di tempat itu kaget. Ternyata itu adalah rombongan Tallamang, saudari mereka yang hilang. Sanak  Tallamang berhamburan memeluk Tallamang. Mereka tak menyangka perempuan itu akan kembali. Mereka kemudian menyiapkan sebuah rumah gudang besar untuk Tallamang bersama rombongannya. Malam harinya mereka mengadakan tarian lego-lego[3]. Lego-lego itu sangat ramai. Namun, saat tari lego-lego berlangsung, terjadi sebuah keanehan. Saat manusia melakukan gerakan kaki ke dalam lingkaran lego-lego, para jin air melakukan gerakan kaki ke arah berlawanan, ke arah luar lingkaran lego-lego. 
Saat subuh menjelang, para jin beristerahat di dalam gudang. Namun, keluarga Tallamang belum tahu bahwa mereka adalah para jin. Saat suaminya dan keluarganya sedang beristerahat, Tallamang mengambil bambu air[4]  dan pergi ke mata air. Sebelum pergi ke mata air, ia berpesan kepada kerabatnya agar tak ada seorangpun  boleh masuk ke dalam gudang tempat suaminya dan keluarganya beristerahat. Setelah berpesan, ia pun pergi menimbah air.
Mendengar pesan Tallamang, keluarganya menjadi penasaran. Tak lama setelah Tallamang pergi, seorang anak mengendap-endap ke arah gudang dan mengintip melalui pintu gudang itu. Ia kemudian membuka tali yang digunakan untuk mengikat pintu gudang tersebut dan membuka pintunya perlahan-lahan. Anak itu sangat kaget ketika melihat apa yang terdapat di dalam gudang.
”Aduh..., Kakak, Bapak dan Mama, ternyata yang ada dalam gudang ini adalah udang, ketam dan belut.” Teriak anak itu. Tetapi saat itu juga semua jin-jin yang berada di gudang menghilang.  Dalam sekejap mereka kembali ke Kolam Mata, kampung mereka.
Ketika Tallamang pulang dari mata air, ia melihat pintu  gudang telah terbuka dan gudang telah kosong. Ia tahu bahwa saudara-saudaranya telah melanggar pesan yang ia sampaikan . Tallamang sangat kecewa dan sedih. Ia mengambil sebuah gong dari atas gudang dan berkemas untuk menyusul suaminya.
 ”Saudara-saudariku. Mengapa kalian melanggar pesanku? Sekarang suami dan keluarga saya telah kembali. Saya harus menyusul mereka. Pertemuan kita cukup sampai di sini.” 
Sehabis berkata demikian, Tallamang kembali kepada suaminya. Ia berjalan menuju Kolam Mata.Di Dekat kolam itu  ada sebuah lubang. Ia masuk ke dalam sebuah lubang terowongan menuju kampung para jin air. Setelah Tallamang masuk ke dalam lubang, ia menggunakan gong itu untuk menutup mulut lubang. Gong itu berubah jadi batu dan ada di tempat itu dan masih ada hingga kini. Tallamang kembali kepada suaminya dan tak kembali lagi  ke kampung halamannya. Hanya orang Lamantaga yang tetap mengenang akan  seorang anak perempuan mereka yang kawin dengan jin air telah luruh kepada kolam Mata.   
              
Fielamang
Jin laut yang mendengar perkataan saudara laki-laki Tallamang dan Fielamang segera naik ke Puncak gunung Lamantaga dan membawa Fielamang ke laut. Pada saat perjalanan ke laut, Tallamang membawa bambu air. Ketika sampai di sebuah tempat bernama Taltuk, mereka berhenti dan minum air di situ. Sedikit air tumpah di tempat itu dan berubah menjadi mata air dan masih ada hingga kini. Setelah beristerahat, mereka melanjutkan perjalanan sampai ke daerah pantai. Mereka beristerahat lagi dan minum air di sebuah tempat bernama Filufi. Sedikit air yang tumpah di tempat itu kemudian berubah menjadi mata air. Mata air itu masih ada hingga kini dan dikenal dengan nama ”Lamang sa” (air Lamang). Setelah beristerahat, jin laut mengantar Fielamang masuk ke dalam laut. Di sana ada perkampungan jin laut. Fielamang mulai menjalani hidup di lingkungannya yang baru.
***
Pada suatu hari, saudara kandung Tallamang dan Fielamang pergi ke pasar. Lokasi pasar waktu itu  berada di Kampung Filufi, tempat Fielamang beristerahat terakhir kali sebelum dibawa jin laut masuk ke laut. Saat berada di pasar, saudara kandung Tallamang berdiri di dekat orang-orang yang  sedang mengunyah sirih pinang. Tempat kapur yang mereka gunakan terbuat dari tempurung kelapa. Ia kenal tempat kapur itu. Karena penasaran, ia meminjam tempat kapur itu dan memegangnya. Ternyata tempat kapur itu sama dengan tempat kapur yang pernah ia buat untuk kedua saudarinya. Tak lama setelah itu, ia melihat ada seorang gadis yang mencari tempat kapur itu.
”Siapa yang meminjam tempat kapur saya? Tolong kembalikan tempat kapur itu kepada saya. Ibu saya itu orang Lamantaga yang jahat. Tempat kapur itu miliknya. Dia akan marah jika saya tidak membawa pulang tempat kapur itu" Demikian kata gadis itu sambil mencari-cari tempat kapurnya di antara orang banyak.
Mendengar itu, saudara kandung Tallamang dan Fielamang semakin yakin bahwa tempat kapur itu adalah milik saudarinya. Ia melihat, gadis itu sedang mendekatinya.
”Aduh, Bapak. Ini tempat kapur milik saya.” Kata gadis itu.
”Siapa yang membuat tempat kapur ini?” Tanya saudara kandung Tallamang dan Fielamang.
”Ini bukan punya saya. Ini punya ibu saya. Ibu saya itu bukan orang dari sini, tetapi orang dari gunung besar. Dari Lamantaga.”
”Kalau begitu antar aku menemui ibumu.”
Akhirnya gadis itu membawa saudara kandung Tallamang menemui ibunya. Turut serta mereka seekor anjing milik saudara kandung Tallamang bernama Lamang Kai (anjing lamang).  
Lelaki itu bingung karena diantar oleh si gadis menuju hamparan laut. Ketika mereka sampai di pinggir laut, tiba-tiba di depan mereka telah terbentang sebuah jalan raya menuju ke dalam laut. Lamang kai (anjing Lamang) mendahului mereka menyusuri jalan itu.
***
Fielamang sementara duduk di bawah gudang. Ia kaget ketika melihat seekor anjing berlari ke arahnya. Anjing itu mendekatinya, menggoyang-goyang ekor dan menjilat-jilat kaki Fielamang. Fielamang seakan tak percaya. Rasa kaget, gembira, bercampur haru pula melihat anjing yang telah ia tinggalkan bersama kampung halaman dan keluarganya kini datang menemuinya.
”Mungkin saudaraku ada yang datang bersama anjing ini”, Fielamang membatin. Tak lama kemudian, anak perempuannya muncul bersama saudara kandungnya di depan Fielamang. Fielamang spontan berlari mendapatkan saudara laki-lakinya. Mereka saling berpelukan dan melepas rindu.
”Saya datang ke sini untuk memberitahukanmu bahwa tiga hari lagi akan diadakan pesta di suku kita.” Kata saudara Fielamang setelah mereka bercakap-cakap melepas rindu. ”Hadirlah di pesta kita, supaya orang kampung tahu bahwa kau tidak hilang.”
Fielamang berjanji akan hadir di pesta itu. Setelah itu saudara laki-lakinya pamit. Ia kembali ke kampung Lamantaga untuk mempersiapkan pesta.
Pada hari yang telah ditentukan, Fielamang beserta suaminya dan semua keluarga jin laut melakukan perjalanan ke Kampung Lamantaga untuk memenuhi undangan saudara kandung Fielamang. Mereka membawa gong, moko dan berbagai jenis makanan. Namun, karena perjalanan yang mereka tempuh sangat jauh, ditambah barang bawaan yang sangat banyak, ketika mereka baru sampai di tengah jalan, di sebuah tempat bernama Masang Kika, hari telah hampir pagi. Para jin hanya dapat beraktifitas pada malam hari. Oleh karena itu dengan penuh penyesalan, mereka terpaksa tidak melanjutkan perjalanan mereka. Mereka meninggalkan semua barang bawaan mereka di tempat itu dan kembali ke laut.
                                                   ***
Mungkin  Tallamang dan Fielamang masih mengenang atau rindu akan saudaranya yang mereka tinggalkan, entahlah,  kisah tak berlanjut sampai ke situ. Tapi yang pasti, orang Lamantaga selalu mengenang, hanya karena serapah yang keluar dari mulut seorang laki-laki, kedua saudarinya menikah dengan jin air dan jin laut.       

Lasiana, Februari 2010          

[1] Gudang: rumah adat suku Abui berbentuk rumah panggung, beratap ilalang.
[2] Anak perempuan: (dalam Masyarakat Suku Abui) merupakan istilah yang digunakan keluarga besar perempuan yang telah menikah untuk menyebut status perempuan tersebut, juga suaminya, dan rumpun keluarga suaminya.
 [3] Lego-lego: tari tradisional masyarakat Alor.
[4] Bambu air: bambu yang digunakan sebagai alat untuk menimbah air.

(Cerita ini masuk dalam peringkat III lomba menulis cerita rakyat tingkat nasional, yang diselenggarakan oleh Badan Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kemendikbud, tahun 2010. http://badanbahasa.kemdikbud.go.id/lamanbahasa/node/489

Baca juga:

2 Komentar

Jangan lupa tulis komentarmu di kolom komentar

Posting Komentar

Jangan lupa tulis komentarmu di kolom komentar

Lebih baru Lebih lama