Pertengahan November
2012, pesawat Susy Air Pilatus PK RCX yang membawa kami dari Nunukan akhirnya
mendarat di sebuah lapangan berumput hijau. Di bawah guyur hujan, roda-roda pesawat menghempas rerumputan di atas tanah lapang sampai menciprat air setinggi
setengah meter, membuat kami yang belum terbiasa, bahkan belum membayangkan
pendaratan seperti itu sempat shock. Saya yang mungkin sangat ketakutan. Pasalnya,
dalam perjalanan tadi, pesawat sempat mengalami gangguan teknis dan terpaksa mendarat di Bandara Kabupaten Malinau untuk perbaikan sebelum melanjutkan
perjalanan.
Akhirnya pesawat berhenti di tempat parkirnya. Pintu pesawat dibuka dan kami
dipersilakan turun dari pesawat oleh petugas. Kami berlima penumpang, ditambah
satu pilot perempuan bule yang jagoan. Empat orang di antara kami (termasuk
saya) adalah guru SM3T (Sarjana Mengajar di Daerah Terpencil, Terdepan,
Terluar). Ini salah satu program Kemendikbud untuk pemerataan pendidikan. Panggil saja nama kami: Jek (saya), Jen,
Ferdi, Afi, dan Frans. Saya, Jen, dan Ferdi, bersama dua rekan kami: Oncy dan
Deby) akan bertugas di desa ini sedangkan Afi dan Frans akan bertugas di Desa Long
Padi, di seberang sungai dari desa ini. Mereka berdua akan melanjutkan
perjalanan menyusuri sungai menggunakan ketinting. Mereka akan satu kali ganti ketinting dalam perjalanan, ya, benar, persis Anda menganti bus dalam perjalanan Anda untuk jurusan yang lain.
Beberapa hari lalu, dua
rekan kami (Oncy dan Deby) telah diterbangkan lebih dahulu ke tempat
ini menggunakan pesawat yang sama. Beberapa jam setelah mereka terbang, kami
tidak bisa lagi kontak dengan dua gadis Timor ini hingga hari ini. Sebentar lagi kami akan
berjumpa dengan mereka di rumah seorang guru (Bapak Kapitan) tempat kami akan menginap beberapa minggu ke depan.
Sesaat kami di sambut
oleh wajah-wajah asing. Orang-orang tua dengan wajah seram (yang kelak menjadi
sahabat-sahabat kami yang penuh kasih sayang), pemuda-pemuda dengan wajah tegar,
anak-anak gadis yang cantik, juga bocah-bocah datang bersama cipratan air.
Kami bersalaman, berkenalan. Mereka sudah tahu bahwa kami adalah guru-guru yang
akan mengabdi di desa mereka.
***
Binuang
di dalam kenangan. Tiga ratus enam puluh derajat memutar pandang adalah barisan gunung mengelilingi kampung. Kampung berpagar gunung. Buah
persetubuhan awan dan langit mengondensasi embun yang selalu menetesi tanah dan peradabannya, membuat udara lembab. Bukan
hanya karena hujan, kelak saya akan tahu bahwa itu karena daerah ini
dikelilingi oleh satu sungai besar: “Fe’k Krayan”, dan beberapa anak sungai.
Tempat yang sungguh perawan. Satu-satunya transportasi yang menghubungkannya
dengan ibu kota Nunukan adalah pesawat Susy Air dan pesawat MAF, jenis pesawat
kecil yang hanya memuat penumpang di bawah sepuluh orang. Beberapa kali
seminggu, pesawat akan datang membuka
pintu koneksitas kota. Beberapa menit kemudian pesawat akan pergi membawa rasa
dekat dengan ibu kota. Dan, kita akan tinggal dalam hangat kebersamaan kampung,
memantau kabar dari luar lewat televisi atau berita dari mulut ke mulut.
Tidak ada jaringan
komunikasi seluler di tempat ini, jadi selama kami di sini, ponsel hanya digunakan
untuk penerangan (kalau ponselnya memiliki aplikasi senter) dan kenangan. Kelak, ponsel-posel ini dititip kepada pak
kepala sekolah saat pergi ke kota. Di sana, beliau akan berkomunikasi dengan para orang
tua kami di Nusa Tenggara Timur. Secara bergiliran, menggunakan ponsel kami masing-masing,
beliau akan menelepon orang tua kami, merekam suara mereka. Para orang tua akan
memberi pesan kepada kami: hati-hati, ingat berdoa, jaga hubungan baik dengan semua
orang, dan nasehat-nasehat lainnya, juga ungkapan-ungkapan rindu. Tak lupa
memastikan keadaan kami. Rekaman itu akan kami terima dan dengar setelah kepala sekolah
kembali. Begitu juga pesan-pesan singkat yang masuk di ponsel kami, kami baca
satu persatu (dalam jangka waktu setahun, akhirnya di antara kami ada yang hapal
hampir seluruh isi SMS di ponselnya karena sering dibaca berulang-ulang).
Sesaat kami terenyuh, merasa jauh dari keluarga, tetapi setelah itu, kami akan
terbuai dengan canda tawa dan kasih sayang orang-orang di sekitar kami, kampung
yang hangat, yang sangat hangat, dan kami jadi tidak merasa bahwa kami orang
asing.
Setahun di daerah
perbatasan Indonesia-Malaysia ini, dari November 2012 sampai Oktober 2013, sebagai
guru SM3T di Desa Binuang, Kecamatan Krayan Selatan, Kabupaten Nunukan, adalah
masa-masa yang akan selalu menjadi kenangan. Penduduk yang ramah, alam yang
kaya, adat istiadat yang kokoh, membuat kami nyaman tinggal di sini. Beberapa orang tua mengambil kami menjadi anak
angkat. Mereka mengenakan gelang di tangan kami, itulah babtisan, menjadi kami bagian
dari mereka. Ada keluarga Kalvin, keluarga Dones, Keluarga Kapitan, keluarga John
Kefli. Ini keluarga-keluarga yang mengambil
kami sebagai anak angkat. Masing-masing kami diambil menjadi bagian salah satu kerabat. Bagian ini akan saya ceritakan lebih detail pada kesempatan
berikutnya.
***
Sekolah adalah tempat
berkumpul dan berbagi. Kami memiliki anak-anak sekolah yangtidak hanya menjadi siswa yang duduk di
kelas, tetapi juga jadi sahabat di luar kelas. Dari kami, mereka belajar materi-materi
pelajaran. Dari mereka kami belajar tentang
kehidupan. Mereka paham benar bagaimana seharusnya hidup dengan baik di dalam
rahim alam yang menjanjikan ini. Kami berlajar dari mereka tentang bagaimana
berburu, memancing, mengemudi kerbau yang menarik gerobak penuh muatan,
mengambil sayuran, menanam dan memotong padi, dan sebagainya. Sebagai
imbangnya, kami megajar mereka, tidak saja pelajaran di sekolah tetapi juga
semua hal yang bisa kami ajarkan: memberi les tambahan dari rumah ke rumah,
kampung ke kampung (ini keahlian Pak Ferdi Haba, guru matematika), melatih
bernyanyi, bermain drama, membaca puisi, menari, dan sebagainya. Hal-hal ini
kami lakukan bahkan ketika berada di luar jam sekolah. Kami jauh begitu akrab,
saling merindukan, mengagumi, bahkan, mungkin jatuh cinta.
Kami juga
memiliki rekan-rekan guru yang tidak saja menjadikan kami sebagai rekan sekerja,
namun lebih dari itu sebagai anak, saudara, kakak, adik, memangkas jalannya
waktu hingga kami terlena. Pada jam isterahat, kami akan
disuguhkan kue-kue olahan hasil pangan, yang dititip oleh orang tua siswa kepada
anak-anak mereka untuk konsumsi guru saat jam isterahat. Itu saat paling cocok
untuk bercanda bahkan sampai berolok-olok, juga saat yang tepat untuk menyusun
rencana berburu atau mengail ikan di sungai sepulang sekolah. Kelak, ketika masa
pengabdian kami selesai, kami menjadi
benar-benar merasa sangat berat meninggalkan mereka.
Akhirnya kami
diharuskan untuk berpisah ketika masa pengabdian selesai. Oktober 2013, kami
meninggalkan Desa Binuang dengan berat hati. Sampai saat ini, berkat kemajuan
teknologi komunikasi, kami masih bisa saling sapa dan bertanya kabar, menawar
rindu ketika kami mengenang, ketika kami ingin mengulang kembali.
Posting Komentar
Jangan lupa tulis komentarmu di kolom komentar