Antrean kami di depan loket tiket sangat ribet. Barang-barang bawaan berseliweran di cela barisan. Saya membawa sebuah koper kecil berisi pakaian dan beberapa buku bacaan, serta sebuah tas punggung. Tetapi, di antara kami ada yang membawa koper besar dan setinggi setengah tubuh mereka, bahkan dua buah koper sekaligus. Saya jadi bimbang, apakah saya kurang persiapan dalam perjalanan ini? Rasanya saya pantas menyesal, mengapa saya tidak membawa koper besar. Tetapi, apa yang akan saya simpan di koper besar itu? Koper saya yang kecil saja masih longgar. Kelak akan sadari bahwa koper terbesar saya dalam perjalanan ini adalah kenangan.
Akhirnya antrean pembelian tiket selesai. Koper-koper kami telah dijilat lidah pita raksasa lalu menelannya ke tempat bagasi. Kami tidak ikut dijilat tetapi diarahkan petugas ke ruang tunggu keberangkatan. Tiap-tiap orang sibuk menjalani scan body di pintu pemeriksaan. Saya jadi was-was dengan alat itu. Bagaimana jika saya terdeteksi sebagai teroris gara-gara baterai alat itu soak?
Kami memasuki ruang tunggu bandara. Tidak seperti ruang tunggu pelabuhan laut tempat penumpang sering berdesak-desakan, ditambah para pedagang keliling yang berseliweran di atas debuh lantai, di sini ruangannya bersih, sejuk, dan asri. Memang, transportasi udara masih merupakan jalur eksklusif di daerah ini. Mahal, tetapi nyaman. Bergabung dengan beberapa teman, kami mengobrol sambil menanti panggilan untuk naik ke pesawat. Tanpa sadar, kami yang bergabung di pojok ruang itu ternyata memiliki satu kesamaan: sama-sama belum pernah naik pesawat terbang.
Pengeras suara mempersilakan kami naik ke pesawat. Bergegas kami melewati petugas pemeriksaan di ambang pintu keberangkatan. Tiket kami diperiksa dan kami memasuki area parkir pesawat. Saya sangat cermat mengekor langkah teman-teman di depan. Tidak boleh kesasar dari rombongan, apalagi salah naik pesawat.
Tiba di dalam pesawat, saya langsung memilih tempat duduk dekat jendela. Tak lama kemudian datang seorang ibu yang ingin duduk di tempat duduk saya. Saya telah siap mempertahankan tempat duduk itu. Tetapi, pramugari yang ramah dan cantik datang merayu saya untuk pindah ke tempat duduk yang sesuai dengan nomor yang tertera pada boarding pass saya. Dibantu sang pramugari lembut , saya dengan tulus hati memberi tempat duduk kepada si ibu dan pindah ke tempat duduk saya yang seharusnya. Ternyata tempat duduk saya yang baru itu dekat jendela pula. Syukurlah.
Pesawat mengambil haluan untuk lepas landas. Saya memperhatikan detail petunjuk keselamatan yang diperagakan pramugari (juga detail keelokan wajahnya). Sesekali saya melirik lorong ruang pesawat dan membayangkan kemungkinan kabur dari pesawat seandainya pesawat macet dalam perjalanan.
Beberapa detik lalu, kami lepas landas. Mesin jet pesawat memuntahkan berton-ton udara yang mendorong sayap pesawat ke atas. Tubuh saya, tubuh pramugari, dan seisi pesawat lainnya terangkat dari muka bumi sampai ketinggian 30.000 kaki. Saya membayangkan Tuhan di atas sana. Jarak antara kami telah berkurang sekitar sembilan kilo meter.
Setelah sekitar dua jam penerbangan, kami pulang ke muka bumi. Pesawat mendarat di Bandara Juanda-Surabaya. Pendengaran saya terganggu. Ada semacam rongga berisi udara yang mengiang-ngiang di telinga saya. Bunyi mesin pesawat tadi telah mengobok-obok gendang telinga saya yang masih bertipe kesunyian kampung. Di bandara saya mengekor teman-teman, mengantre urusan administrasi transit. Saya berusaha fokus sehingga jika ada arahan dari petugas bandara, tidak mampet di ujung daun telinga saya. Untung ada Bung Josy, koordinator rombongan kami yang cekatan. Ia mengumpulkan tiket kami dan mengurusnya secara kolektif, maka bebaslah saya dari keharusan antre.
Di Juanda ini ada kisah lucu dua orang teman saya. Ketika sebagian kami sedang sibuk mengunya bekal dari tas-tas kami, mereka masuk ke kafe bandara, memesan dua porsi bakso dan minuman lalu makan dan minum sambil pangku kaki. Setelah itu pelayan menyodorkan bon. Dua porsi bakso ditambah minuman seharga 150.000 rupiah. Mereka kaget menatap jumlah itu. Mungkin mereka masih terbiasa dengan harga bakso kereta di halaman kampus yang satu porsi hanya seharga sepuluh ribu. Terpaksa mereka membayar dan keluar dari kafe dengan memikul rasa penyesalan. Setelah kejadian itu, mereka was-was dengan tempat makan di bandara-bandara berikutnya yang kami singgahi. Saya baru tahu cerita itu dari seorang teman ketika kami tiba di Kota Tarakan. Sambil tertawa saya bersyukur karena bukan saya yang mengalami kejadian itu.
Tiba-tiba saya telah berada di barisan antrean naik pesawat. Berganti pesawat, kami melanjutkan perjalanan menuju Balikpapan . Sejam lebih penerbangan, pesawat perlahan turun menuruti kemauan grafitasi bumi. Di bawah sana tampak badan kota seperti rumah-rumah tanah yang dibangun semut. Ya, itu karya “semut-semut” berakal budi dengan kecerdasan yang melebihi kekerdilan semut. Di bawah sana terbentang Kota Balikpapan.
Perjumpaan saya dengan Kota Balikpapan membawa kenangan tersendiri. Saat masih duduk di bangku SD kelas lima, di kampung nan sepi, nama kota raya ini pernah saya dengar ketika saya dan teman-teman diomeli ibu guru. Atas kenakalan kami yang suka memanjat pohon jeruk di depan sekolah dan meloncat dari atas dahannya, kami dianugerahi lima ketul roti (ditampar) oleh ibu guru. Setelah penganugerahan selesai, ibu guru bilang, “kalau kepalamu terbentur batu, kamu langsung dikirim ke balikpapan dan masuk ke sukabumi”. Saat itu saya tidak mengerti apa yang dibicarakan ibu guru. Ada apa dengan Balikpapan dan Sukabumi? Teman saya, sambil menggosok-gosok pipinya, berbisik kepada saya bahwa pamannya sudah lama merantau ke Balikpapan dan bekerja di perusahaan minyak tanah. Minyak tanah yang kami pakai di pelita saat belajar malam itu hasil kerja pamannya. Saya semakin bingung mengaitkan penjelasan teman saya dengan khotbah ibu guru tadi. Lama setelah kejadian itu, saya baru tahu jika ibu guru mau mengatakan bahwa kalau kami jatuh dan kepala kami terkena batu, kami bisa mati, lalu dimasukkan ke peti mati (dikirim ke balik papan), dan dikuburkan (dimasuk ke suka bumi). Seandainya saya punya nomor telepon ibu guru yang pantas dikenang itu, saya akan meneleponnya, sekadar memberi tahu tentang “dejavu” yang pernah saya pungut dari bibirnya dan Kota Balikpapan yang terhampar di depan saya.
Mungkin sesuatu yang berkesan di hati seseorang akan terus membuntutinya. Kelak, tanpa sengaja saya berjumpa dengan seorang teman yang juga mempunyai kenangan tentang Balikpapan. Dia bercerita bahwa kota di bawah perut pesawat kami ini merupakan kota perekonomian terbesar di Kalimantan Timur. Kota ini berawal dari sebuah perkampungan nelayan di tepi Selat Makasar pada abad ke 19. Pengeboran sumur minyak pertama di kota ini dilakukan pada 10 Februari 1897. Tanggal ini kemudian ditetapkan sebagai hari jadi Kota Balikpapan.
Delapan tahun setelah perjalanan ini, saya membaca satu artikel tentang sejarah Kota Balikpapan di situs Tribun Kaltim. Ternyata nama “Balikpapan” sendiri punya asal usul. Ada dua versi. Salah satunya, nama “Balikpapan”berawal dari sebuah kejadian pada tahun 1739. Sultan Muhammad Idris dari Kerajaan Kutai memerintah seluruh pemukim Teluk Balik Papan untuk menyumbang seribu lembar papan guna pembuatan istana baru. Papan-papan itu diikat menjadi rakit dan dibawa ke Kutai Lama melalui laut sepanjang garis pantai. Sesampai di tujuan, ternyata ada sepuluh keping papan yang hilang. Papan-papan yang hilang itu kemudian ditemukan di suatu tempat yang sekarang disebut Jenebora. Dari peristiwa inilah nama “Balikpapan” itu diberikan (dalam istilah bahasa Kutai "Baliklah - papan itu" atau papan yang kembali yang tidak mau ikut disumbangkan”. Versi lainnya, menurut legenda orang-orang suku Pasir Balik atau lazim disebut Suku Pasir Kuleng. Orang-orang suku Pasir Balik yang bermukim di sepanjang pantai Teluk Balik papan berasal dari keturunan kakek Kayun Kuleng dan nenek Papan Ayun. Oleh keturunan kakek nenek ini, kampung nelayan yang terletak di Teluk Balikpapan itu diberi nama "Kuleng – Papan”. Dalam bahasa Pasir, kuleng artinya balik dan papan artinya papan. Diperkirakan nama “Balikpapan” mulai digunakan sekitar tahun 1527.
Tiba-tiba kami sudah sampai di pintu kedatangan Bandara. Sepinggan tak seramai Juanda. Oleh karena urusan transit selanjutnya ditangani koordinator rombongan, kami dapat bersantai di ruang tunggu. Di Bandara ini kami berpisah dengan rombongan tujuan Kabupaten Kutai Barat. Mereka akan melanjutkan perjalanan melalui jalur darat, sedangkan rombongan kami dan rombongan tujuan Kabupaten Malinau akan melanjutkan penerbangan ke Bandara Juwata-Tarakan. Rombongan tujuan Malinau masih transit di Bandara Soekarno Hatta baru ke Tarakan, sedangkan rombongan kami langsung dari Balikpapan ke Tarakan.
Sekali lagi pesawat menerbangkan kami. Langit mulai memerah, menyajikan pemandangan alam yang eksotis. Di jendela pesawat mata saya menangkap horizon jingga kemerah-merahan, mengingatkan saya akan kumpulan cerpen karya Seno Gumira Ajidarma, tentang senja. Saya jadi iseng menatap lama-lama ke tirai senja itu, siapa tahu ada bekas guratan pisau selebar kartu pos, bukti bahwa seorang lelaki pencinta senja telah tega mencuri seukuran kecil senja selebar kartu pos, lalu senja mini itu dikirim kepada pacarnya melalui tukang pos. Ah, cerita yang sangat romantis. Berlatar senja yang tak sempat digurat itu, terbentang puncak-puncak bukit yang botak tercukur pisau perusahaan penggaruk batu bara. Pada sisi kaki perbukitan terbentang sungai-sungai yang meliuk persis ular raksasa. Mungkin sungai-sungai itu menjadi tempat bukit-bukit korban eksploitasi manusia menumpahkan air mata. Saya seolah sedang membaca kembali sepenggal cerita Paulo Coelho: “Di tepi Sungai Piedra aku duduk dan menangis. Udara musim dingin membuat air mata yang mengalir di pipiku terasa dingin, dan air mataku menetes ke air sungai dingin yang mengelegak melewatiku. Di suatu tempat entah di mana, sungai ini akan bertemu sungai lain, lalu yang lain lagi, hingga –jauh dari hati dan pandanganku– semuanya menyatu dengan lautan. Semoga air mataku mengalir sejauh-jauhnya, agar kekasihku tak pernah tahu bahwa suatu hari aku pernah menangis untuknya”. Mungkinkah sungai-sungai di bawah perut pesawat kami telah membawa pergi air mata bukit-bukit itu? Mungkinkah sungai-sungai itu akan singgah sebentar di muara Mahakam, bercerita tentang kesedihan sang bukit-bukit kepada sungai-sungai lain yang sempat pula singgah di situ, sebelum mereka sama-sama melanjutkan perjalanan? Ataukah sungai-sungai itu langsung membawa kesedihan bebukitan ke laut? Saya tidak tahu. Tetapi, apakah manusia benar-benar tidak pernah merasakan air mata alam yang mengalir dalam kesunyian itu? Mungkinkah setelah penambangan selesai, bukit-bukit itu dapat dihijaukan kembali? Coba kita bertanya pada rumput yang bergoyang, saran Ebiet G. Ade.
Saat kami memasuki ruang tunggu Bandara Juwata, Kota Tarakan sudah petang. Karena ini adalah penerbangan terakhir kami di hari ini, kami sibuk mengantre bagasi. Satu persatu penumpang menangkap koper dan barang-barangnya dari atas lidah mesin bagasi yang mengelinding. Mata saya awas mengidentifikasi koper saya di antara deret-deret barang yang merayap bersama pita mesin. Akhirnya semua barang ludes diambil pemiliknya masing-masing. Lalu, di manakah koper saya? Saya panik. Untung ada beberapa orang teman yang ikut panik karena koper mereka juga tidak muncul, sehinga agak mengurangi kepanikan saya. Bersama koordinator robongan, kami menghadap pihak manajemen pesawat di bandara. Ternyata koper-koper kami tertingal di Kupang. Pihak maskapai baru akan menerbangkannya kepada kami pada besok, menggunakan penerbangan pertama. Maka, keluarlah kami dari pintu ruang kedatangan dengan “lenggang kangkung”.
Di halaman bandara, kami mengisi perut dengan bekal-bekal dari tas kami. Saya dan beberapa teman bergabung, mengeluarkan roti dan biskuit, membeli minuman di kantin, kemudian meleburnya menjadi aneka kudapan. Kami makan dan minum. “Wahai, baru tadi pagi saya minum air di Kupang, sekarang saya kencing di Tarakan,” ujar seorang teman yang baru keluar dari kamar mandi dan bergabung dengan kami. “Itulah kemajuan peradaban, Bung,” sahut seorang teman.
Selanjutnya, tiap rombongan berkumpul mengelilingi dosen pendampingnya. Pak Labu Djuli – pendamping rombongan tujuan Kabupaten Nunukan – mengusulkan agar rombongan menginap di hotel, sedangkan Pak Marsel Robot – pendamping rombongan tujuan Kabupaten Malinau – telah menyuruh beberapa orang untuk mencari informasi tentang lokasi gereja atau masjid yang dapat diinap semalam oleh rombongan. Akhirnya tiap-tiap rombongan mengikuti kemauan dosen pendampingnya. Namun, saya dan Fekrianus Tun (teman sekerja saya saat masih di Kupang), bersama beberapa sahabat lainnya diam-diam membelot dari rombongan kami dan mengikuti rombongannya Pak Marsel. Mungkin karena telah berada di tanah rantau, nama gereja atau masjid memiliki daya tarik tersendiri di hati kami.
Menggunakan truk barang, kami menuju sebuah gedung gereja Katolik di pusat Kota Tarakan. Sayang, saya lupa nama gereja itu. Di atas truk yang kotor dan berdebu karena baru saja mengangkut pasir, kami berdesak-desakan. Masing-masing mencari pegangan dan keselamatannya, namun para wanita kami posisikan di tengah, sedangkan kami, para lelaki, berdiri sebagai pagar hidup di pinggir. Unik, memang. Baru saja kami gonta-ganti pesawat, sekarang kami menumpuk di truk, persis barang rongsokan.Mungkin inilah cermin roda kehidupan, ada saat di mana kita bergerak ke atas, ada saat kita turun ke bawah.
Kami meninggalkan Bandara Juwata dan menyusup ke jantung Kota Tarakan, menuju lokasi penginapan: gedung gereja itu. Di sana, selama semalam setengah hari kami akan mengukir beberapa kisah, kemudian melanjutkan perjalanan ke Kota Nunukan.
Kupang, 03 Juli 2020 cq Balikpapan Oktober 2012
Jek Atapada
Baca juga:
Permainan kata2 nya saya love banget. Selamat kpd bunget Fekri yg namanya tertulis. Hehehe... Menunggu cerita selanjutnya.
BalasHapusTerima kasih, Bang. Cerita selanjutnya sdang dlm proses.
HapusAsli ni k. Jadi kangen Kalimantan le e
BalasHapusKalau kangen brarti kita sama, hehehe
HapusTulisan Autobiografi ini bisa dikembangkan menjadi buku.... masukkan pengalaman lain dari Adek agar lebih lengkap
BalasHapusTerima kasih Papa, atas dukungan dan semangat Papa yang telah memotivasi saya. Sekarang saya sedang menyicil tulisan. Meski kadang tersendat-sendat, semoga mimpi ini bisa terwujud.
HapusBorneo pung kenangan
BalasHapusSaya suka sekali kak.
BalasHapusSaya mau copas ke medsos saya begitu kak, tapi kok tidak bisa kak?
Kk kirim di WA bisa kak?
Sangat suka kak.
Kang ee Fing.
Posting Komentar
Jangan lupa tulis komentarmu di kolom komentar