Bus membawa kami meninggalkan Bandara Kualanamu. Dimulai dari Lubuk Pakam kami melintasi jalan lintas Sumatra, melewati barisan pohon sawit yang melambai teduh. Bus terlalu melaju di atas perut aspal, membawa  kami sampai samping pintu tol pertama di ambang Kota Medan; Tanjung Morawa. Tak lama setelah itu kami meninggalkan ujung barisan pohon-pohon sawit dan  memasuki deret gedung-gedung perkotaan. Calon istri saya tiba-tiba telah menjadi pemandu wisata  bagi saya. Dengan penuh semangat dia menjelaskan kepada saya tentang gedung dan jalan-jalan yang kami lewati lengkap dengan  kenangannya. Namun, beberapa lama kemudian pemandu gratis saya mulai jarang bicara. Sekarang dia diam sambil meletakkan botol minyak kayu putih di depan hidungnya. Kemungkinan besar dia mulai mabuk kenderaan. Saya pun pulang kepada keheningan sambil menikmati laju bus. Mata kenangan sayalah yang melindas kebisingan bus dan merekam alur  perjalanan ke dalam koper bahan baku kenangan. Saat ini kami sedang  dalam perjalanan menuju pusat Kota Medan.

Ternyata calon istri saya telah menentukan hotel yang akan kami inapi semalam di Kota Medan. Sumpah, saya tidak tahu di mana letak hotel sasaran itu. Saya buta kenop, eh buta arah.  Dan, tiba-tiba saya mendapat tugas yang membutuhkan tingkat akurasi penglihatan yang tinggi. Saya diminta calon istri saya untuk mencari papan nama gedung di pinggir jalan yang bertuliskan RedDoorz melalui jendela bus. Rupanya itu nama hotel sasaran kami. Sebenarnya kami bisa mengandalkan bantuan sopir bus. Sayangnya, supir bus pun tak tahu  persis letak hotel itu. Untung  saya mendengar calon istri saya meneriaki sang sopir bahwa hotel itu ada di Simpang Pos. Itu berarti area identifikasi hotel tersebut akan semakin sempit  dan dengan demikian persentasi tingkat kemungkinan kenyasaran kami pun rendah. Terkikislah sudah dalam benak saya bayangan bagaimana rasanya jika tersesat di kota terbesar ketiga di Indonesia ini. Atau lebih baik jangan pernah ada bayangan itu. Apalagi mengalami secara langsung, janganlah.

Akhirnya google maps yang menuntun kami sampai di depan Hotel RedDoorz. Inilah tempat kedua di Kota Medan yang akan saya singgahi setelah minum kopi sekaligus menumpahkan kopi di  Bandara Kualanamu tadi. Kami turun dari bus. Setelah itu koper dan tas kami ikut turun.  Bus melanjutkan perjalanan dan calon istri saya melakukan check in hotel.  Sedangkan saya, saya bersantai sebentar  di depan hotel sambil  dengan penuh kesadaran dan percaya diri tingkat tinggi berlagak seolah-olah bukan orang baru di situ.  Di sekitar saya mata beberapa orang sedang mengamat-ngamati  pria berkulit hitam dan berambut keriting ini, pria yang tadi ditemani seorang gadis berkulit putih, berambut lurus, yang sekarang berada di dalam hotel. Jangan-jangan mereka mengira pria ini adalah pengawal wanita itu, jangan-jangan mereka mengira pria ini sedang melakukan tugas pengamanan ring satu terhadap wanita itu. Bah, terlalu. Tapi, jangan-jangan ternyata pria ini sendiri yang berpikir demikian. Bah, itu pun terlalu.  

Setelah selesai cek in kami masih berdiri sebentar di halaman hotel, menunggu calon adik ipar saya yang akan menjumpai kami di hotel tersebut. Sudah sekitar setengah jam kami menunggu namun belum ada tanda-tanda kedatangannya. Padahal layar telepon genggam calon istri saya menyatakan bahwa calon adik ipar saya itu sudah berada di atas angkot dan sudah memasuki area Simpang Pos. Akhirnya kami memutuskan untuk menyimpan koper dan tas kami di kamar hotel barulah kembali ke depan hotel dan menunggu calon adik ipar saya. Saat kami mengantar barang-barang ke kamar, radar perasaan saya terusik oleh cara pelayan hotel itu memperhatikan saya. Meski agak risih, saya menyodorkan iktikad baik dengan tersenyum dan mengangguk ke arahnya kemudian cepat-cepat melangkah meninggalkannya.  

Setelah itu kami kembali ke depan hotel. Setelah beberapa lama menunggu, sebuah sepeda motor berhenti di depan kami lalu seorang gadis cantik turun dari sadel motor. Syukurlah, calon adik ipar saya telah menjumpai kami dengan selamat. Ternyata dia pun hampir nyasar saat mencari alamat hotel tempat penginapan kami.

Kami menyewa dua kamar di hotel itu. Satu kamar untuk saya, satu kamar lagi buat calon istri dan calon adik ipar saya. Setelah memberesi barang di kamar, saya mampir ke kamar mereka. Tiba-tiba  dua perempuan ini mengomeli pemilik hotel karena kamar yang mereka tempati kurang bersih, terutama kamar mandi. Untung saat itu bukan pemilik hotel yang berdiri di hadapan mereka berdua. Syukur juga karena bukan saya yang memiliki hotel ini sehingga tidak panas kuping saya mendengar omelan mereka.  Calon istri saya kemudian memeriksa kamar saya dan melakukan studi banding dadakan. Hasilnya, kamar saya lebih bersih.

Setelah mandi kami memesan makanan melalui aplikasi grab. Setengah jam kemudian sudah terhidang di depan kami tiga tumpuk nasi lengkap dengan lauk. Lauk ikan air tawar yang besar-besar menarik perhatian saya. Saya merasa spesial dengan lauk tersebut. Di kampung saya jarang sekali orang membudidayakan ikan air tawar. Kami selalu makan ikan air laut, dan saya lebih banyak makan ikan asin. Sayangnya, kuah-kuah disajikan dalam kantung plastik sehingga kami harus meneguknya langsung dari kantung tersebut, persis minum es manis di kantung plastik pada masa kecil dulu.

***

                Di pukul lima subuh udara pagi Kota Medan menyapa saya dari balik jendela hotel. Di seberang jalan satu orang tukang sapu sedang menjalankan tugas negara; membersihkan jalan umum. Satu orang penjaja makanan dengan sepeda motornya melaju melewati tukang sapu itu. Ia juga sedang menjalankan tugas negara; bekerja keras untuk mencapai kehidupan yang sejahtera. Jauh di atas kepala tukang sapu beberapa ekor burung terbang mencari nafkah. Mungkin burung-burung itu pun sedang menjalankan tugas di negara burung.  Saya pun bergegas mandi. Negara harus punya rakyat yang rajin menjaga kebersihan dan kesehatan di tengah masa pandemi ini.

                Setelah mandi, kami keluar hotel dan mencari sarapan di pinggir jalan besar. Di samping jembatan layang tubuh kami bergerak dan mata kami memantau sekitar, mencari warung-warung untuk sarapan. Setelah beberapa kali menyeberangi derasnya arus lalu lintas, tubuh kami mendarat di sebuah kedai.  Calon istri saya menawarkan lontong kepada saya. Itu makanan baru bagi saya. Pasti makanan ini seenak canda Cak Lontong, pikir saya sambil mengingat gelagat komedian bernama Cak Lontong. Namun karena kami akan melanjutkan perjalanan dan takut nanti perut saya terganggu, saya lebih memilih sarapan nasi dan kopi. Kami sarapan dengan menerapkan prokes yang ketat.

                Setelah sarapan, calon istri dan calon adik ipar saya berangkat menuju tempat penjahit untuk mengambil jahitan yang telah dipesannya. Rupanya calon istri saya mempunyai firasat buruk terhadap gelagat saya sehingga diambillah dompet saya  yang berisi uang, kartu identitas  dan segala kartu yang menunjang kehidupan saya. Dibawanya dompet itu  pergi. Dia hanya meninggalkan saya pesan bahwa saya tidak boleh keluar hotel. Saya hanya boleh tinggal di kamar hotel sampai mereka kembali. Dia takut saya kesasar atau dicopet bila keluar hotel sendirian. Maka sirnalah rencana rahasia  saya untuk jalan-jalan atau minum kopi sekali lagi di kedai dekat hotel itu selama mereka pergi. Saya pun kembali ke kamar hotel, mengeluarkan laptop dari tas dan mencoba mengotak-atik isi laptop.

Tak terasa sudah sampai pukul 11.30 wib saya duduk di depan laptop sambil mendengar lagu, menengok media sosial, membaca beberapa artikel, dan menulis beberapa paragraf tulisan. Saya baru kaget saat menyadari bahwa setengah jam lagi sudah waktu check out dari hotel sementara dua gadis  dekat saya itu belum juga kembali ke hotel. Apa yang terjadi jika saya ditinggal di hotel itu tanpa uang dan identitas diri sampai malam nanti? Bisa saja saya diusir pemilik hotel kemudian saya terlunta-lunta di pinggir jalan. Ihhh, ngeri.

Maka cepat-cepat saya meraih telepon genggam dan menelepon. Suara di seberang sana menginformasikan bahwa dua gadis itu masih di tempat penjahit. Dengan nada yang terkesan diktator saya meminta mereka segera kembali ke hotel. Sekitar lima belas menit kemudian barulah mereka kembali ke hotel. Kami pun mempersiapkan barang-barang kami dan melakukan check out.

Tiba-tiba sebuah mobil pendek dan kecil datang di depan kami dan menawari kami jasa  angkutan. Setelah tawar menawar harga, kami menaikkan barang-barang kami ke atas mobil. Sayangnya, mobil itu terlalu sempit sehingga tidak bisa menampung koper besar kami.  Bukannya mencari solusi lain, sang sopir malah meminta saya memangku koper besar itu. Dua perempuan di samping saya spontan langsung memprotes usulan sopir. Melihat tatapan mata dua perempuan yang menunjukkan sikap permusuhan dengannya, sang sopir segera mengoper kami ke sebuah becak bermotor yang kebetulan parkir di belakang kami. Sang sopir mobil pun mendapat imbalan uang lima ribu rupiah dari sopir becak atas jasa pengoperan penumpangnya. Melihat itu, dua perempuan dekat saya semakin menunjukkan sikap permusuhan kepada sopir mobil karena merasa dieksploitasi. Saya pun memasang sikap siaga satu untuk mengantisipasi kemungkinan timbul kejadian yang dapat mengganggu kamtibnas.

Akhirnya kami menggunakan becak bermotor menuju stasiun bus di jalan Jamin Ginting. Ini kali pertama saya menggunakan becak bermotor. Awalnya saya sempat ragu atas kemampuan becak bermotor ini membawa kami bertiga ditambah koper besar dan tas-tas. Saya dan calon istri duduk di kursi beranda becak sedangkan adik ipar saya duduk di boncengan sepeda motor penggerak becak. Kelak, setelah beberapa minggu kemudian, saat saya sudah sering menggunakan becak bermotor, saya menyesali posisi duduk demikian. Seharusnya gadis cantik di atas sadel motor itulah yang duduk di kursi beranda becak sedangkan laki-laki berbadan kekar inilah yang duduk di sadel sepeda motor penggerak becak itu. Kurang etis kalau seorang gadis bergelantung di atas sadel sepeda motor penggerak becak sementara seorang laki-laki berpose manis di kursi beranda becak.

Dalam perjalanan itu pun ternyata kehadiran saya merampok perhatian sopir becak. Demi memuaskan rasa penasarannya, sopir becak itu bertanya kepada wanita yang duduk di samping saya tentang siapa saya. Itulah sekelumit makna yang ditangkap nalar saya dari konteks pembicaraan mereka karena mereka berdialog mengunakan bahasa Batak. Entah rasa penasaran sopir becak itu sudah terjawab atau belum, tiba-tiba becak sudah berhenti di depan stasiun bus dan kami bergegas turun.

Setelah membeli tiket kami memesan makan siang di kantin stasiun bus. Selesai makan siang, adik ipar saya pamit dan kembali ke kontrakannya. Sedangkan, saya dan calon istri akan melanjutkan perjalanan menuju Kabupaten Dairi. Di sana sudah menunggu keluarga besar dari calon istri saya. Di sana juga sudah menunggu sejumlah kejadian menarik yang kelak akan menjadi cerita kenangan. Pun, kelak beberapa minggu nanti baru saya mengerti, betapa Tuhan sudah menyiapkan calon adik ipar saya di Kota Medan ini untuk menemani kami dalam kejadian-kejadian tak terkira yang akan kami alami di sini.

 

Kupang, 16 Agustus 2021, cq Kota Medan 25 Juni 2021

                      

1 تعليقات

Jangan lupa tulis komentarmu di kolom komentar

إرسال تعليق

Jangan lupa tulis komentarmu di kolom komentar

أحدث أقدم