Cerpen Jek Atapada

Sumber gambar ilustrasi:
https://www.kompasiana.com/image/sibawaihi/5c6e0b36aeebe101841880a7/dalam-persimpangan?page=1

Namanya Jeven. Kami berteman sejak SD. Selain ke sekolah bersama-sama,  kami selalu bersama-sama bekerja membantu orang tua mengiris tuak[1], menggembala kambing dan sapi, mencari kayu bakar. Semua itu masih mengental di ingatan saya hingga sekarang. Kali terakhir saya melihat dia bertubuh kerdil, pendek, belum berkumis, bocah. Dia yang mengantar saya ke pelabuhan, mengangkat tas saya ke atas perahu, menjadi orang terakhir yang memeluk saya di atas perahu, kemudian turun ke darat dan melambai-lambai sehelai daun lontar sambil meneriakkan ucapan selamat jalan kepada saya. Dia tahu untuk apa saya pergi. Dia juga tahu setinggi apa mimpi yang tumbuh dalam benak saya sehingga saya mengambil keputusan senekat itu.

Semua kejadian yang akan saya ceritakan ini berawal dari sebuah mimpi yang kami miliki bersama. Kami bermimpi menjadi doktorandus, terinspirasi dari bapak kepala sekolah. Ternyata menjadi seorang doktorandus seperti bapak kepala sekolah itu enak. Dihormati orang kampung, punya gaji, tiap hari berpakaian rapi ke sekolah. Tanpa disadari benih niat menjadi doktorandus berkecambah dalam hati saya dan Jeven. Setiap saat, di sekolah, di kebun, di padang penggembalaan, di atas pohon lontar, kami selalu berkhayal bahwa suatu saat kami akan menjadi doktorandus. Dalam mimpi itu pula kami bersemangat belajar sekaligus semangat mencari uang untuk melunasi SPP kami. Suatu hari, karena asyik berkhayal di atas pohon lontar, Jeven tidak teliti mengikat bambu penyadap pada tandan lontar. Akhirnya bambu terjatuh dan air tuak tumpah. Hasil kejadian itu diterima Jeven pada malam hari. Ia mendapat hadiah lima ketul roti (tempeleng) dari ayahnya. 

 “Orang tua tidak hirau kita, ya? Lihat, kita sendiri berusaha membayar iuran sekolah. Untung kita bisa jual kelapa kering,” saya berkeluh di suatu hari.

“Kamu sedang ditempa untuk tangguh.  Sama seperti alam membuat penduduk kampung tangguh.” Ujar Jeven sambil berdiri dan mengancung-ancungkan jari telunjuk di depan wajah saya, meniru gaya dan kata-kata bapak kepala sekolah tempo hari,  sampai jarinya hampir menusuk biji mata saya. Saya jengkel dan berusaha menghalau dia dari hadapan saya. Dasar si Jeven beo. Dikira orang dia bijak padahal hanya membeo.

Jeven memang punya bakat membeo. Dia dapat meniru gaya dan cara bercakap orang, persis memang. Namun, suatu saat saya menyadari bahwa  ada sesosok malaikat yang meminjam mulut beo Jeven untuk memberi peta di saat  saya mengambil keputusan yang kelak akan mengubah jalan hidup saya.

***

Suatu malam kakek bertamu di rumah kami. Seperti biasa, saya tidak bergabung dengan mereka. Itu urusan orang tua.  Anak-anak tidak boleh ikut campur. Mereka bertiga; kakek, ayah, dan  ibu, duduk melingkar di atas tikar. Di tengah mereka meliuk nyala pelita yang lesuh diombak sepoi malam. 

“Anak sulungmu sudah besar. Sudah bisa kerja. Kasih keluar dia dari sekolah. Bantu kau gembala hewan dan iris tuak.”

“Doorrrrr”, telinga saya tiba-tiba tersambar petir berbisa dari mulut kakek. Saya tidak percaya dengan apa yang saya dengar. Namun, saya tidak berani menyuruh kakek mengulangi kalimatnya.

“Besok kau  pergi menghadap kepala sekolah, kasih keluar dia.” Kakek melanjutkan ucapannya. “Dia anak sulung, punya tanggung jawab kepada adik-adiknya.”

Srrett, persis silet, kalimat itu meluncur melewati tembakau di mulut kakek, menyabit tiang harapan di hati saya. Sementara ayah mengangguk-angguk tanda setuju, ibu hanya diam menatap nyalah pelita yang telah padam di mata saya. Akhirnya mereka bersepakat mengeluarkan saya dari sekolah. Saya tidak bisa berbuat apa-apa selain masuk ke kamar dan menangis.

Tiba-tiba terdengar siulan dari balik bilik. Itu siulan Jeven, kode ajakan untuk keluar rumah bersamanya. Sesuai janji, malam ini kami akan menjerat kelelawar.

“Hoiiiiiii.” Terdengar suara Jeven di luar seperti sedang mengusir sesuatu. Itu kode kami jika menunggu terlalu lama. Dengan langkah lesu saya mengambil ketepel yang tergantung di dinding dan menemuinya di luar.

“Hei, kenapa lama sekali? Eh, kenapa matamu? Kau menangis?” Jeven memberi interogasi setelah saya berdiri di depannya.  Dasar Jeven mata kelelawar, di bawah remang cahaya bulan pun dia bisa tahu bahwa mata saya sembab. Akhirnya saya menceritakan peristiwa tadi kepadanya. Jeven menyimak sampai  saya selesai berbicara. Saya tahu, dia pun  kecewa mendengar cerita saya. Itu artinya personel calon doktorandus berkurang satu. Padahal semangat kami selama ini disuplai mimpi jadi doktorandus.

 “Kita pergi ke rumah bapak kepala sekolah,” suara Jeven memecah keheningan.

 “Untuk apa?”

 “Kita minta bantuan bapak kepala sekolah. Siapa tahu dia bisa membantumu.”

Akhirnya malaikat meminjam mulut Jeven untuk memberitahu saya solusi.

Tanpa menunggu persetujuan, Jeven sudah  melangkah. Saya pun mengekor Jeven. Beberapa saat kami telah tiba di rumah bapak kepala sekolah. Beranda rumahnya gelap namun kami mendengar suara orang rumah dari  dapur sehingga kami memutuskan untuk mengetuk pintu dapur.

 “Hei, kamu dua dari mana?” Bapak kepala sekolah yang telah berdiri di ambang pintu menyapa kami.

 “Kami ada perlu, Bapak,” Jeven, tanpa basa-basi, menjawab pertanyaan, meski jawabannya tidak sesuai dengan pertanyaan.

Bapak kepala sekolah mempersilakan kami masuk dan duduk di atas balai-balai.   

 “Bagaimana? Kamu dua perlu apa?”

Jeven menyikut lengan saya sebagai signal bahwa sayalah yang berkewajiban memberitahukan maksud kedatangan kami. Saya pun menceritakan keputusan kakek, bapak, dan mama mengeluarkan saya dari sekolah. Jeven yang merasa cerita saya kurang bersimpati di hati bapak kepala sekolah menambahkan bahwa sebenarnya selama ini kami berdua punya cita-cita menjadi doktorandus seperti bapak kepala sekolah. Bapak kepala sekolah tersenyum mendengar tuturan Jeven, membuat wajah saya kemerahan karena malu. Di dalam hati, saya menjatuhkan vonis bersalah kepada Jeven atas kelancangannya memberitahu hal itu.

Akhirnya, setelah memberi kami beberapa nasehat, bapak kepala sekolah berjanji akan membantu saya agar tetap sekolah. Beliau juga memberitahu bahwa jika ingin menjadi doktorandus seperti beliau, setelah tamat SD, kami harus melanjutkan sekolah ke SPG (sekolah pendidikan guru), kemudian melanjutkan ke perguruan tinggi. Jeven mengangguk-angguk seolah paham apa itu SPG dan perguruan tinggi, padahal kedua istilah itu kami baru dengar pada saat itu.

Kami pamit setelah menghabiskan sepiring singkong rebus dan semangkuk gula air[2] yang dihidangkan Ina Marni, istri bapak kepala sekolah. Kami memutuskan untuk membatalkan niat menjerat kelelawar dan langsung pulang ke rumah. Malam itu kegelisahan menyiksa saya. Saya masih ingin sekolah, ingin menjadi doktorandus, ingin hidup lebih baik dari orang tua saya, bahkan lebih baik dari warga kampung. Semoga bapak kepala sekolah benar-benar mau menolong saya. Dan, saya sangat berterima kasih kepada Jeven yang  meski jarang sikat gigi, telah bersedia meminjamkan mulut beonya  kepada malaikat untuk memberiku peta.

Pagi itu, setelah sarapan, ayah benar-benar  pergi ke sekolah saya. Sebelum pergi ayah menyuruh saya agar saya menyusul kakek ke kebun mengambil tembakau.   

Ayah kembali ke rumah bersamaan dengan saya kembali dari kebun kakek. Hati saya berdebar-debar menanti hasil pertemuan ayah dengan kepala sekolah. Meskipun demikian, saya tidak berani bertanya kepada ayah. Saat makan siang, saya mengambil tempat agak jauh dari ayah dan ibu, namun radar  kuping saya  arahkan seratus derajat kepada pembicaraan mereka. Ternyata kepala sekolah menepati janjinya. Dengan jengkel ayah bercerita kepada ibu bahwa kepala sekolah tidak hanya menolak permintaan ayah untuk mengeluarkan saya dari sekolah tetapi juga memberi pengertian kepada ayah akan pentingnya pendidikan bagi masa depan saya. Mendengar itu saya hampir melonjak dari tempat duduk namun cepat-cepat membatalkan niat karena hal itu sama dengan misi bunuh diri. Saya pasti diberi “lima ketul roti” oleh ayah jika melonjak kegirangan.

Setelah kepala sekolah menolong saya dari ancaman dropout, saya berhasil menamatkan pendidikan di bangku SD.  Setelah tamat, beberapa bulan saya beralih status dari anak sekolah menjadi rakyat jelata. Kegiatan seharian saya adalah membantu ayah dan kakek menyadap tuak, menggembala sapi, dan mengais ladang.

Suatu malam, saat saya dan Jeven sedang menjerat kelelawar di pohon jambu Ama Nadus, Malaikat kembali meminjam mulut Jeven dan mempropaganda saya.

 “Hei, kenapa kau tidak lanjut sekolah ke SPG?” Tiba-tiba kalimat itu terlontar dari mulut Jeven.

 “Saya tidak tahu SPG itu ada di mana.” Saya asal-asal menanggapi Jeven.

 “SPG ada di Kupang. Kemarin saya sudah tanya bapak kepala sekolah saat antar kelapa kering.”

Saya mulai serius menanggapi pembicaraan Jeven. Sambil menunggu kaleng alarm jerat berbunyi, Jeven dengan gaya sok tahu bercerita panjang lebar tentang SPG. Gara-gara penjelasan Jeven, pada malam itu pun saya mengambil keputusan nekat.

Sekali lagi, dengan bantuan kepala sekolah, akhirnya bapak, mama, dan kakek merestui niat saya mengadu nasib ke Kota Kupang. Malam itu ayah mengundang beberapa tetangga berkumpul di rumah saya. Di pandu bapak penatua,  kami bersama mendoakan keberangkatan saya ke Kota Kupang yang akan terjadi pada besok hari. Malam itu Jeven tidur di rumah saya. Kami bercerita sampai larut, menghabiskan kebersamaan. Dia kelihatan begitu gembira meski mengakui bahwa setelah kepergian saya dia akan merasa kesepian. Teman-teman lain susah diajak menjadi calon doktorandus, keluhnya. Dia pun tidak sabar lagi untuk cepat tamat dari SD agar dapat menyusul saya ke Kupang untuk bersekolah di SPG. 

Siang itu, berbekal sedikit uang tabungan, satu toples gula air dan bekal sekadarnya, menenteng ijazah SD, menggunakan perahu, meninggalkan tanah Sabu Raijua, saya menyeberang menuju Kota Kupang. Ayah, ibu, Jeven, dan bapak penatua mengantar saya ke dermaga perahu dan  melepaskan kepergian saya di tangga dermaga.

Akhirnya perahu kami bersandar di Kampung Solor.  Tahun 1980-an, wajah Kota Kupang masih dijejel banyak semak. Pusat keramaian ada di Kampung Solor. Saya menginap di rumah  seorang anak buah kapal yang saya kenal dalam perjalanan. Beberapa minggu terlunta di Kupang, akhirnya saya mendapat pekerjaan menjual es lilin milik sebuah toko. Selanjutnya, saya menambah usaha dengan menjual rokok, kacang tanah, jeruk, dan apel. Setelah beberapa bulan tinggal di rumah anak buah kapal, saya pindah ke pondok yang berhasil saya bangun dengan bahan seadanya.

Akhirnya kesempatan yang saya tunggu tiba. SPG Kupang membuka penerimaan siswa baru. Atas bantuan seorang langganan saya, akhirnya saya diterima sebagai siswa SPG. Sekarang kesibukan saya bertambah. Pekerjaan menjual saya lakoni sepulang sekolah hingga malam hari. Masa liburan adalah kesempatan emas untuk memfokuskan tenaga pada usaha berjualan.

Pada saat saya sedang menikmati perjalanan pendidikan di SPG, saya mendapat kabar bahwa ayah saya meninggal di kampung. Dengan kondisi keuangan saya yang tidak memungkinkan untuk pulang kampung, apalagi saya baru saja membayar biaya sekolah, akhirnya dengan terpaksa saya memutuskan untuk tidak berada di samping keranda ayah untuk terakhir kalinya.

Akhirnya saya menamatkan pendidikan SPG. Berbekal hasil usaha yang saya cicil di tabungan, saya melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi, memilih jurusan Pendidikan Moral Pancasila dan Kewarganegaraan di sebuah universitas ternama di Kota Kupang. Selama berkuliah, selain berjualan, untuk menambah penghasilan guna melunasi biaya kuliah, saya sempat terlibat sebagai buruh dalam beberapa pekerjaan pembangunan gedung di Kota Kupang. Memasuki semester IV, saya diterima sebagai guru honorer di beberapa sekolah. Dengan demikian, saya telah tergolong sebagai salah satu mahasiswa yang berpenghasilan lumayan dibandingkan dengan teman lainnya.

Akhirnya mimpi saya terwujud. Saya diwisudah dengan gelar doktorandus. Tidak ada pesta wisudah. Setelah  prosesi wisudah di kampus, saya pulang ke rumah, masuk ke kamar dan menangis tersedu-sedu sambil berdoa mengucap syukur. Dengan cara itu saya memeriahkan keberhasilan saya.  Tahun 1986, tepatnya di bulan Januari, kebahagian saya semakin menggenap. Saya lulus sebagai CPNS dosen pada universitas almamater saya. Seiring waktu karir saya meningkat di tempat kerja saya. Akhirnya saya terpilih sebagai dekan pada fakultas almamater saya dahulu.

***

Setelah sekian tahun tak berkabar, pagi ini Jeven tiba-tiba datang ke kantor saya dan duduk di hadapan saya. Sebuah pertemuan yang sangat tak terduga. Di seberang meja wajahnya kelihatan lebih tua dari usianya.

“Semoga Bapak menyeleksi saya sesuai prosedur dan syarat yang telah ditetapkan. Saya telah melengkapi semua persyaratan sesuai isi pengumuman itu,” ujarnya sambil menaruh  di hadapan saya map berisi berkas lamarannya untuk bekerja sebagai cleaning service. Saya terdiam menatapnya.

Kupang, 16 April 2020



[1] Iris tuak: menyadap getah pohon aren/ pohon lontar

[2] Gula air: gula hasil pengolahan getah aren, berbentuk cair.

Post a Comment

Jangan lupa tulis komentarmu di kolom komentar

أحدث أقدم