Cerpen Jek Atapada
Sumber gambar ilustrasi: |
Namanya Jeven. Kami berteman sejak SD. Selain ke sekolah bersama-sama, kami selalu bersama-sama bekerja membantu orang tua mengiris tuak[1], menggembala kambing dan sapi, mencari kayu bakar. Semua itu masih mengental di ingatan saya hingga sekarang. Kali terakhir saya melihat dia bertubuh kerdil, pendek, belum berkumis, bocah. Dia yang mengantar saya ke pelabuhan, mengangkat tas saya ke atas perahu, menjadi orang terakhir yang memeluk saya di atas perahu, kemudian turun ke darat dan melambai-lambai sehelai daun lontar sambil meneriakkan ucapan selamat jalan kepada saya. Dia tahu untuk apa saya pergi. Dia juga tahu setinggi apa mimpi yang tumbuh dalam benak saya sehingga saya mengambil keputusan senekat itu.
Semua kejadian yang akan saya ceritakan ini berawal dari sebuah mimpi yang kami miliki bersama. Kami bermimpi menjadi doktorandus, terinspirasi dari bapak kepala sekolah. Ternyata menjadi seorang doktorandus seperti bapak kepala sekolah itu enak. Dihormati orang kampung, punya gaji, tiap hari berpakaian rapi ke sekolah. Tanpa disadari benih niat menjadi doktorandus berkecambah dalam hati saya dan Jeven. Setiap saat, di sekolah, di kebun, di padang penggembalaan, di atas pohon lontar, kami selalu berkhayal bahwa suatu saat kami akan menjadi doktorandus. Dalam mimpi itu pula kami bersemangat belajar sekaligus semangat mencari uang untuk melunasi SPP kami. Suatu hari, karena asyik berkhayal di atas pohon lontar, Jeven tidak teliti mengikat bambu penyadap pada tandan lontar. Akhirnya bambu terjatuh dan air tuak tumpah. Hasil kejadian itu diterima Jeven pada malam hari. Ia mendapat hadiah lima ketul roti (tempeleng) dari ayahnya.
“Orang tua tidak hirau kita, ya? Lihat, kita
sendiri berusaha membayar iuran sekolah. Untung kita bisa jual kelapa kering,” saya
berkeluh di suatu hari.
“Kamu sedang ditempa untuk tangguh. Sama seperti alam
membuat penduduk kampung tangguh.” Ujar Jeven sambil berdiri dan mengancung-ancungkan
jari telunjuk di depan wajah saya, meniru gaya dan kata-kata bapak kepala
sekolah tempo hari, sampai jarinya
hampir menusuk biji mata saya. Saya jengkel dan berusaha menghalau dia dari
hadapan saya. Dasar si Jeven beo. Dikira orang dia bijak padahal hanya membeo.
Jeven memang punya
bakat membeo. Dia dapat meniru gaya dan cara bercakap orang, persis memang.
Namun, suatu saat saya menyadari bahwa ada
sesosok malaikat yang meminjam mulut beo Jeven untuk memberi peta di saat saya mengambil keputusan yang kelak akan
mengubah jalan hidup saya.
***
Suatu malam kakek
bertamu di rumah kami. Seperti biasa, saya tidak bergabung dengan mereka. Itu
urusan orang tua. Anak-anak tidak boleh ikut
campur. Mereka bertiga; kakek, ayah, dan
ibu, duduk melingkar di atas tikar. Di tengah mereka meliuk nyala pelita
yang lesuh diombak sepoi malam.
“Anak sulungmu sudah
besar. Sudah bisa kerja. Kasih keluar dia dari sekolah. Bantu kau gembala hewan
dan iris tuak.”
“Doorrrrr”, telinga
saya tiba-tiba tersambar petir berbisa dari mulut kakek. Saya tidak percaya
dengan apa yang saya dengar. Namun, saya tidak berani menyuruh kakek mengulangi
kalimatnya.
“Besok kau pergi menghadap kepala sekolah, kasih keluar
dia.” Kakek melanjutkan ucapannya. “Dia anak sulung, punya tanggung jawab
kepada adik-adiknya.”
Srrett, persis silet, kalimat itu
meluncur melewati tembakau di mulut kakek, menyabit tiang harapan di hati saya.
Sementara ayah mengangguk-angguk tanda setuju, ibu hanya diam menatap nyalah
pelita yang telah padam di mata saya. Akhirnya mereka bersepakat mengeluarkan
saya dari sekolah. Saya tidak bisa berbuat apa-apa selain masuk ke kamar dan
menangis.
Tiba-tiba terdengar
siulan dari balik bilik. Itu siulan Jeven, kode ajakan untuk keluar rumah bersamanya.
Sesuai janji, malam ini kami akan menjerat kelelawar.
“Hoiiiiiii.” Terdengar
suara Jeven di luar seperti sedang mengusir sesuatu. Itu kode kami jika
menunggu terlalu lama. Dengan langkah lesu saya mengambil ketepel yang
tergantung di dinding dan menemuinya di luar.
“Hei, kenapa lama
sekali? Eh, kenapa matamu? Kau menangis?” Jeven memberi interogasi setelah saya
berdiri di depannya. Dasar Jeven mata
kelelawar, di bawah remang cahaya bulan pun dia bisa tahu bahwa mata saya
sembab. Akhirnya saya menceritakan peristiwa tadi kepadanya. Jeven menyimak
sampai saya selesai berbicara. Saya
tahu, dia pun kecewa mendengar cerita
saya. Itu artinya personel calon doktorandus berkurang satu. Padahal semangat
kami selama ini disuplai mimpi jadi doktorandus.
“Kita pergi ke rumah bapak kepala sekolah,”
suara Jeven memecah keheningan.
“Untuk apa?”
“Kita minta bantuan bapak kepala sekolah.
Siapa tahu dia bisa membantumu.”
Akhirnya malaikat
meminjam mulut Jeven untuk memberitahu saya solusi.
Tanpa menunggu
persetujuan, Jeven sudah melangkah. Saya
pun mengekor Jeven. Beberapa saat kami telah tiba di rumah bapak kepala sekolah.
Beranda rumahnya gelap namun kami mendengar suara orang rumah dari dapur sehingga kami memutuskan untuk mengetuk
pintu dapur.
“Hei, kamu dua dari mana?” Bapak kepala
sekolah yang telah berdiri di ambang pintu menyapa kami.
“Kami ada perlu, Bapak,” Jeven, tanpa
basa-basi, menjawab pertanyaan, meski jawabannya tidak sesuai dengan
pertanyaan.
Bapak kepala sekolah
mempersilakan kami masuk dan duduk di atas balai-balai.
“Bagaimana? Kamu dua perlu apa?”
Jeven menyikut lengan
saya sebagai signal bahwa sayalah yang berkewajiban memberitahukan maksud kedatangan kami. Saya
pun menceritakan keputusan kakek, bapak, dan mama mengeluarkan saya dari
sekolah. Jeven yang merasa cerita saya kurang bersimpati di hati bapak kepala
sekolah menambahkan bahwa sebenarnya selama ini kami berdua punya cita-cita
menjadi doktorandus seperti bapak kepala sekolah. Bapak kepala sekolah tersenyum
mendengar tuturan Jeven, membuat wajah saya kemerahan karena malu. Di dalam
hati, saya menjatuhkan vonis bersalah kepada Jeven atas kelancangannya
memberitahu hal itu.
Akhirnya, setelah
memberi kami beberapa nasehat, bapak kepala sekolah berjanji akan membantu saya
agar tetap sekolah. Beliau juga memberitahu bahwa jika ingin menjadi doktorandus
seperti beliau, setelah tamat SD, kami harus melanjutkan sekolah ke SPG
(sekolah pendidikan guru), kemudian melanjutkan ke perguruan tinggi. Jeven
mengangguk-angguk seolah paham apa itu SPG dan perguruan tinggi, padahal kedua
istilah itu kami baru dengar pada saat itu.
Kami pamit setelah
menghabiskan sepiring singkong rebus dan semangkuk gula air[2] yang
dihidangkan Ina Marni, istri bapak kepala sekolah. Kami memutuskan untuk
membatalkan niat menjerat kelelawar dan langsung pulang ke rumah. Malam itu
kegelisahan menyiksa saya. Saya masih ingin sekolah, ingin menjadi doktorandus,
ingin hidup lebih baik dari orang tua saya, bahkan lebih baik dari warga
kampung. Semoga bapak kepala sekolah benar-benar mau menolong saya. Dan, saya
sangat berterima kasih kepada Jeven yang meski jarang sikat gigi, telah bersedia
meminjamkan mulut beonya kepada malaikat
untuk memberiku peta.
Pagi itu, setelah
sarapan, ayah benar-benar pergi ke sekolah
saya. Sebelum pergi ayah menyuruh saya agar saya menyusul kakek ke kebun
mengambil tembakau.
Ayah kembali ke rumah
bersamaan dengan saya kembali dari kebun kakek. Hati saya berdebar-debar
menanti hasil pertemuan ayah dengan kepala sekolah. Meskipun demikian, saya
tidak berani bertanya kepada ayah. Saat makan siang, saya mengambil tempat agak
jauh dari ayah dan ibu, namun radar
kuping saya arahkan seratus
derajat kepada pembicaraan mereka. Ternyata kepala sekolah menepati janjinya. Dengan
jengkel ayah bercerita kepada ibu bahwa kepala sekolah tidak hanya menolak permintaan
ayah untuk mengeluarkan saya dari sekolah tetapi juga memberi pengertian kepada
ayah akan pentingnya pendidikan bagi masa depan saya. Mendengar itu saya hampir
melonjak dari tempat duduk namun cepat-cepat membatalkan niat karena hal itu
sama dengan misi bunuh diri. Saya pasti diberi “lima ketul roti” oleh ayah jika
melonjak kegirangan.
Setelah kepala sekolah
menolong saya dari ancaman dropout, saya berhasil menamatkan pendidikan di
bangku SD. Setelah tamat, beberapa bulan
saya beralih status dari anak sekolah menjadi rakyat jelata. Kegiatan seharian
saya adalah membantu ayah dan kakek menyadap tuak, menggembala sapi, dan
mengais ladang.
Suatu malam, saat saya
dan Jeven sedang menjerat kelelawar di pohon jambu Ama Nadus, Malaikat kembali
meminjam mulut Jeven dan mempropaganda saya.
“Hei, kenapa kau tidak lanjut sekolah ke SPG?”
Tiba-tiba kalimat itu terlontar dari mulut Jeven.
“Saya tidak tahu SPG itu ada di mana.” Saya
asal-asal menanggapi Jeven.
“SPG ada di Kupang. Kemarin saya sudah tanya
bapak kepala sekolah saat antar kelapa kering.”
Saya mulai serius menanggapi
pembicaraan Jeven. Sambil menunggu kaleng alarm jerat berbunyi, Jeven dengan gaya
sok tahu bercerita panjang lebar tentang SPG. Gara-gara penjelasan Jeven, pada
malam itu pun saya mengambil keputusan nekat.
Sekali lagi, dengan
bantuan kepala sekolah, akhirnya bapak, mama, dan kakek merestui niat saya
mengadu nasib ke Kota Kupang. Malam itu ayah mengundang beberapa tetangga
berkumpul di rumah saya. Di pandu bapak penatua, kami bersama mendoakan keberangkatan saya ke Kota
Kupang yang akan terjadi pada besok hari. Malam itu Jeven tidur di rumah saya.
Kami bercerita sampai larut, menghabiskan kebersamaan. Dia kelihatan begitu
gembira meski mengakui bahwa setelah kepergian saya dia akan merasa kesepian.
Teman-teman lain susah diajak menjadi calon doktorandus, keluhnya. Dia pun
tidak sabar lagi untuk cepat tamat dari SD agar dapat menyusul saya ke Kupang
untuk bersekolah di SPG.
Siang itu, berbekal sedikit
uang tabungan, satu toples gula air dan bekal sekadarnya, menenteng ijazah SD, menggunakan
perahu, meninggalkan tanah Sabu Raijua, saya menyeberang menuju Kota Kupang.
Ayah, ibu, Jeven, dan bapak penatua mengantar saya ke dermaga perahu dan melepaskan kepergian saya di tangga dermaga.
Akhirnya perahu kami
bersandar di Kampung Solor. Tahun
1980-an, wajah Kota Kupang masih dijejel banyak semak. Pusat keramaian ada di
Kampung Solor. Saya menginap di rumah
seorang anak buah kapal yang saya kenal dalam perjalanan. Beberapa
minggu terlunta di Kupang, akhirnya saya mendapat pekerjaan menjual es lilin
milik sebuah toko. Selanjutnya, saya menambah usaha dengan menjual rokok,
kacang tanah, jeruk, dan apel. Setelah beberapa bulan tinggal di rumah anak
buah kapal, saya pindah ke pondok yang berhasil saya bangun dengan bahan
seadanya.
Akhirnya kesempatan
yang saya tunggu tiba. SPG Kupang membuka penerimaan siswa baru. Atas bantuan
seorang langganan saya, akhirnya saya diterima sebagai siswa SPG. Sekarang
kesibukan saya bertambah. Pekerjaan menjual saya lakoni sepulang sekolah hingga
malam hari. Masa liburan adalah kesempatan emas untuk memfokuskan tenaga pada
usaha berjualan.
Pada saat saya sedang
menikmati perjalanan pendidikan di SPG, saya mendapat kabar bahwa ayah saya
meninggal di kampung. Dengan kondisi keuangan saya yang tidak memungkinkan
untuk pulang kampung, apalagi saya baru saja membayar biaya sekolah, akhirnya dengan
terpaksa saya memutuskan untuk tidak berada di samping keranda ayah untuk
terakhir kalinya.
Akhirnya saya
menamatkan pendidikan SPG. Berbekal hasil usaha yang saya cicil di tabungan,
saya melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi, memilih jurusan Pendidikan
Moral Pancasila dan Kewarganegaraan di sebuah universitas ternama di Kota Kupang.
Selama berkuliah, selain berjualan, untuk menambah penghasilan guna melunasi
biaya kuliah, saya sempat terlibat sebagai buruh dalam beberapa pekerjaan
pembangunan gedung di Kota Kupang. Memasuki semester IV, saya diterima sebagai
guru honorer di beberapa sekolah. Dengan demikian, saya telah tergolong sebagai
salah satu mahasiswa yang berpenghasilan lumayan dibandingkan dengan teman lainnya.
Akhirnya mimpi saya
terwujud. Saya diwisudah dengan gelar doktorandus. Tidak ada pesta wisudah. Setelah prosesi wisudah di kampus, saya pulang ke rumah,
masuk ke kamar dan menangis tersedu-sedu sambil berdoa mengucap syukur. Dengan
cara itu saya memeriahkan keberhasilan saya. Tahun 1986, tepatnya di bulan Januari, kebahagian
saya semakin menggenap. Saya lulus sebagai CPNS dosen pada universitas
almamater saya. Seiring waktu karir saya meningkat di tempat kerja saya.
Akhirnya saya terpilih sebagai dekan pada fakultas almamater saya dahulu.
***
Setelah sekian tahun
tak berkabar, pagi ini Jeven tiba-tiba datang ke kantor saya dan duduk di
hadapan saya. Sebuah pertemuan yang sangat tak terduga. Di seberang meja
wajahnya kelihatan lebih tua dari usianya.
“Semoga Bapak menyeleksi saya sesuai prosedur dan syarat yang telah ditetapkan. Saya telah melengkapi semua persyaratan sesuai isi pengumuman itu,” ujarnya sambil menaruh di hadapan saya map berisi berkas lamarannya untuk bekerja sebagai cleaning service. Saya terdiam menatapnya.
Kupang, 16 April 2020
إرسال تعليق
Jangan lupa tulis komentarmu di kolom komentar