***
Meski payah, saya terus mengimbangi langkah kaki Bapak Kapitan. Kami mendaki beberapa kilo meter ke puncak gunung. Bapak Kapitan laksana serdadu, menyandang bekang berisi perlengkapan dan perbekalan di punggung, senapan pemburu tergantung di bahu, parang tergantung di pinggang, mata awas ke depan, dan dengan cekatan melintasi berbagai penghalang di depan. Di belakangnya, dengan napas terengah-engah saya mengekor, diam-diam berharap cepat mencapai puncak, atau paling kurang mencapai lereng dekat puncak.
Kami tiba di puncak gunung. Ada sebuah pondok di situ. Pondok Paye Melau dibuat oleh warga lokasi Binuang untuk kepentingan bersama. Setiap orang yang berburu di area tersebut dapat beristerahat di pondok tersebut. Di dalam pondok tersedia beberapa alat masak.
***
Entah dari mana, tiba-tiba saja makhluk-makhluk itu sudah mengepung kami. Makhluk-makhluk berwajah mengerikan. Instingku berkata bahwa itu hantu-hantu. Kemungkinan besar mereka telah membuntuti kami selama di perjalanan tadi. Satu persatu mereka muncul dari kegelapan, mengintip-ngintip pondok kami dan perlahan-lahan mendekati pintu pondok. Saya melihat Bapak Kapitan tertidur pulas dalam hammocknya. Beliau pasti tidak menyadari bahaya yang mengintai kami. Saya berusaha membangunkannya dari tidur namun tubuh saya kaku oleh ketakutan besar. Sekarang makhluk-makhluk itu berusaha menggeser pintu pondok. Ternyata pintu pondok kami tidak dikunci sehingga mereka dengan mudah membukanya. Kini mereka telah berada di dalam pondok. Saya hendak memberontak tetapi badan saya tetap saja kaku, bahkan tenggorokan saya tersedak sehingga tidak bisa bersuara. Tiba-tiba saya merasa sentuhan dingin di badan saya. Salah satu makhluk itu telah berdiri di samping saya. Matanya merah, mulutnya lebar, air liur meleleh di antara bibirnya, gigi-giginya rucing, kuku jari tangannya persis pisau. Ia tersenyum saat tatap mata kami bertemu. Senyuman yang sangat rakus itu perlahan-lahan didekatkan ke wajah saya. Hidungnya mengendus-endus. Gigi-giginya sudah berada di depan wajah saya, siap menerkam. Satu, dua, ti…. “Aaaaaaaa” Saya berteriak sekuat tenaga sambil merontah-rontah.
Kupang, Juni 2020 cq Binuang 2012
[1] Bakul yang terbuat dari anyaman rotan dengan dasar berupa papan, bertali, digunakan masyarakat suku Dayak Lundaye untuk membawa sesuatu dengan cara digendong di punggung.
[2] Tempat tidur dari kain, di kedua ujungnya terdapat tali pengikat y untuk menggantung tempat tidur ini sehingga orang yang menggunakannya dapat berayun seperti dalam buaian.
mantap kaka jek .. kangen krayan jd nya .. salam dr medan .. saya angkat 5 sm3t yg juga bertugas d binuang
ردحذفSalam Kenal, Pak Guru. Saya lagi coba buat tulisan2 kenangan ttg binuang. Semoga tulisan berikutnya cpt kelar dan terbit.
حذفsemangat kakak jek / pak guru 😊
حذفMantaplah...bibi juga masih ingat tas punggung itu namanya"Anjat" ingat kala KKN di daerah pedalaman Tarakan. Ditunggu narasi selanjutnya😄 Happy Sunday.
ردحذفإرسال تعليق
Jangan lupa tulis komentarmu di kolom komentar