Udara panas Kota Medan memeras keringat dari pori kulit para penumpang. Kernet yang telah selesai mengemasi barang-barang di bagasi segera memberi aba-aba kepada roda bus untuk menggelinding. Tak lama berselang kami merayap keluar dari perut Kota Medan, menyusuri ruas  jalan yang meliuk-liuk menuju Kabupaten Dairi.

Lepas dari Kota Medan kami memasuki wilayah Kabupaten Karo. Perlahan udara berangsur sejuk di bawah naung rindang pepohonan. Lagu-lagu daerah Batak menghibur kami dari speaker bus. Sang sopir keasyikan menyetir, saya keasyikan menikmati. Meski saya sama sekali tidak memahami makna lagu-lagu tersebut, musik yang mendayu-dayu merayu rasa romantisme dalam perjalanan.  

Memasuki daerah Brastagi sampai Kabanjahe kami disambut deret-deret kebun sayur.  Menghijau berjajar persis baris para tentara. Hujan yang baru saja usai menyisahkan kabut tipis. Kabut-kabut itu lebih nyaman hinggap di pucuk pohon dan rumput untuk meneteskan udara lembap yang membasahi bus, membasahi jalan, membasahi hati seorang pria Timor.

Di bawah naungan langit yang sejuk bus berhenti di depan sebuah rumah makan. Para penumpang turun dari bus untuk membuang sampah perut dan menambah isi perut. Dari papan alamatnya saya segera tahu bahwa kami sedang berada di rumah makan Ramayana. Kami sedang berada di Kecamatan Merek, Kabupaten Karo.

   Di dalam rumah makan para penumpang dan sopir memilih tempat duduk masing-masing. Pantat saya singgah di sebuah kursih kosong di tengah ruangan, sementara calon istri saya mampir sebentar ke kamar mandi. Saya berencana memesan segelas kopi namun masih menunggu calon istri saya kembali dari kamar mandi. Sekitar satu menit saya hanya duduk menikmati wajah-wajah asing yang terpampang di depan saya.

Tiba-tiba saya sadar bawah saya jadi pusat perhatian pemilik warung juga sebagian orang yang ada di situ. Mungkin karena fisik saya agak berbeda dengan mereka. Berkulit hitam dengan rambut keriting membuat saya menjadi makhluk unik di tempat itu. Makhluk Timor yang unik di tengah orang-orang Batak. Tiba-tiba seorang gadis petugas warung mampir di depan saya. Senyumnya manis. Ia meletakkan sepiring nasi berlauk seekor ikan lele jumbo di depan saya. Saya bingung karena merasa belum memesan sesuatu. Calon istri saya yang baru kembali dari kamar mandi mengira saya telah memesan makanan tersebut. Saya mengatakan bahwa saya tidak memesan. Mungkin petugas itu salah. Akhirnya calon istri saya menyuruh saya menikmati hidangan. Tergiur dengan ikan air tawar goreng yang kelihatan lezat, saya segera menyantap hidangan pemberian itu. Sambil makan saya bertanya-tanya tentang asal-muasal pemberian makanan ini. Jangan-jangan saya diberi hadiah makanan oleh pemilik warung karena saya orang baru yang baru saja mampir ke warungnya. Atau jangan-jangan ini semacam ucapan selamat datang. Atau jangan-jangan gadis itu naksir kepada saya sehingga memberi saya hadiah makanan. Eh, entahlah.  Ternyata setelah makan saya dituntut membayar ongkos sejumlah tiga puluh ribu. Perkiraan saya yang muluk-muluk tadi meleset dan calon istri saya menyerahkan uang kepada kasir. Lalu kami kembali ke bus.

 

Sebuah gapura bertuliskan “SELAMAT DATANG DI KABUPATEN DAIRI” menyambut kami saat memasuki kawasan hutan Lae Pondom. Embus semilir angin dingin menjilat pori-pori. Udara basah dan pepohonan yang gigil mempertemukan saya dengan Dairi. Bus kami terus melaju menyambangi  Tanjung Beringin, memasuki Kecamatan Sumbul, menyeruduk udara Kecamatan Sitinjo.

Tiba-tiba saya terpikat pada sebuah pemandangan yang pesona. Di tepi jalan raya mata saya disuguhi pemandangan air mengalir turun dari puncak tebing yang tingginya kira-kira tiga meter. Air mengalir turun sambil mencumbu kekarnya badan tebing yang setia menopangnya, lalu tumpah di sisi jalan. Itulah air terjun Lae Pandaroh yang berpose persis seorang pengantin wanita untuk pangerannya. Konon, katanya air ini kadang berwarna merah seperti darah karena mengandung unsur kimia tertentu. Dari badan jalan kita hanya melihat satu tingkat dari air terjun tersebut tetapi masih ada beberapa tingkatan lagi. Di depan air terjun ini berdiri sebuah gapura yang dapat dijadikan sebagai salah satu sudut pengambilan gambar oleh para pemotret. Ada beberapa pasangan anak manusia sedang berfoto ria di situ saat kami lewat. Ingin sekali saya berhenti sebentar untuk menikmati keindahan alam yang yang satu ini tetapi roda bus tidak mengizinkan dan terus menggelinding  membawa saya pergi.

Lalu kami melewati gerbang masuk Taman Wisata Iman Kabupaten Dairi. Istriku, eh, calon istriku  mengatakan bahwa itu adalah tempat wisata rohani  yang terkenal di Kabupaten Dairi. Di kemudian hari saya akan mengunjungi tempat ini dan menikmati keanggunannya bersama wanita yang telah menjadi istri saya. Ya, orang yang duduk di samping saya dengan status sebagai calon istri ini kelak akan duduk di tempat yang sama sebagai istri saya saat kami tiba di taman wisata itu.

Berkaitan dengan status calon istri menjadi status istri ini saya punya satu pemikiran. Ternyata pengertianlah yang mengatur status makhluk hidup yang fana. Misalnya beberapa tahun lalu, kita mengenal SBY sebagai Presiden Indonesia. Setelah habis masa jabatannya dan beliau turun takhta, dia tetap seorang SBY tetapi tidak lagi sebagai seorang presiden. Mengapa demikian? Karena pengertian kita bahwa SBY sebagai presiden hanya berlaku untuk saat dia sebagai presiden. Setelah dia turun dari jabatannya, pengertian bahwa SBY masih sebagai presiden tidak berlaku lagi. Namun, salahkah bila saya tetap mempertahankan pengertian bahwa SBY  tetap seorang presiden meski sudah tidak menjabat lagi sebagai presiden? Tentu bisa saja saya berpengertian seperti itu. Itu kebebasan berpengertian saya. Namun dalam lingkungan sosial pengertian saya tadi tidak dapat diterima karena tidak sesuai dengan anggapan umum tentang kenyataan saat itu. Berarti anggapan umum berperan dalam membentuk pengertian seseorang? Apakah anggapan umum sebagai otoritas untuk memberi arti dalam kepala seorang manusia tentang sebuah kenyataan? Bagaimana kalau anggapan umum salah mengartikan kenyataan di kepala orang seperti anggapan tentang geosentris yang akhirnya dipatahkan oleh aliran heliosentris? Entahlah. Mungkin ini hal serius yang lebih cocok didiskusikan pada tempat dan kesempatan lain. Tidak pantas hal seperti ini merusak romantika imajinasi pembaca dalam perjalanan kisah ini. Namun, yang ingin saya sampaikan di sini bahwa status calon istri dan status istri yang sempat saya singgung di atas adalah sebuah pengertian dalam diri saya maupun  manusia pada umumnya. Pengertian seperti ini membutuhkan otoritas anggapan umum. Dengan demikian diperlukan wadah-wadah komunitas sosial seperti adat, pemerintah, dan gereja untuk melegitimasi status  seorang wanita, dari status calon istri ke status istri. Dengan demikian, kelak, setelah prosesi legitimasi secara adat, agama, dan pemerintah  telah dilaksanakan, pengertian saya bahwa wanita di samping saya adalah istri saya akan memiliki dasar yang kuat. Dengan demikian kebebasan berpengertian saya tidak dapat seenaknya mengubah pengertian akan status wanita ini dari istri saya menjadi bukan istri saya. Saya jauh-jauh dari Timor datang ke Kota Sidikalang untuk menjalani proses legitimasi dimaksud.  Tetapi,.. Oh, maafkan saya,, mari kita kembali ke cerita tadi.

Dari lokasi taman wisata ini tak lama lagi kami sampai di Kota Sidikalang, ibu Kota Kabupaten Dairi.

***

                Rasa asing menekan saya saat memasuki ambang rumah. Keluarga besar calon istri saya  telah berkumpul menyambut kami. Sebelum masuk ke dalam rumah kami mencuci tangan di tempat yang telah disediakan. Sementara itu tas dan koper kami duluan dibawa masuk ke dalam rumah. Saya lalu dipersilakan menuju sebuah tikar yang digelar di ruang tamu, tikar khusus untuk kami. Saya dan calon istri saya duduk bersila di atas tikar itu. Di depan kami duduk para keluarga calon istri saya yang nantinya akan menjadi keluarga saya juga. Kami saling berpandangan. Saya tiba-tiba merasa sebatang kara di rantau. Tanpa ditemani keluarga atau sahabat dari Timor saya telah memberanikan diri untuk datang sendiri bersama calon istri saya. Saya akan melamar calon istri saya di rumahnya, di keluarganya, mengambilnya secara baik-baik melalui pintu adat, agama, dan pemerintah karena saya adalah makhluk yang berpengertian. Tekad dan iktikad yang beretika membimbing saya melakukan semua ini, dalam keyakinan bahwa saya datang menjumpai orang-orang yang berhati baik, bahkan berhati mulia.         

“Bagaimana perjalanan tadi?” Seorang bapak segera mencairkan rasa hati yang karang. Maka terjadilah obrolan ringan yang menghangatkan. Pembawaan saya yang supel menjadi modal utama saya mengabrabkan diri dengan situasi saat itu.

Tiba-tiba orang-orang secara bergilir manju ke hadapan saya dan calon istri saya. Mereka mengambil beras dalam bakul yang telah tersedia di situ, tiap-tiap orang mengambil dalam segenggam tangan dan menghamburnya di atas kepala kami sambil mengucapkan selamat datang dan mengucapkan doa harapan keselamatan. Semua orang di situ melakukan demikian. Lama kelamaan kepala saya terasa penuh dengan biji-biji beras karena rambut keriting saya tidak mengizinkan sebagian besar butir beras itu jatuh ke lantai seperti yang terjadi pada kepala calon istri saya. Beras-beras itu ada yang sampai menginap di kepala saya berhari-hari. Saat calon istri saya menjadikan hal itu sebagai sebuah lelucon, saya membela diri dengan mengatakan bahwa itu tandanya doa-doa yang dinaikkan itu tetap menjadi berkat di kepala saya, bukan seperti di kepalanya yang licin sehingga berkat-berkat itu jatuh.   

Selanjutnya kami pun mulai berkenalan. Saya dahulu memperkenalkan diri, menceritakan latar belakang saya secara ringkas serta mengemukakan alasan mengapa saya datang seorang diri. Lalu  satu-satu orang mulai memperkenalkan diri.

“Kamu panggil saya tulang.”

“Kamu panggil saya Bapa”

“Saya tantemu”

“Saya Laemu”

"Saya besanmu"

"Ini opungmu"

Saya berusaha mengingat beberapa istilah silsila dalam bahasa Batak yang masih asing di telinga. Namun, obrolan-obrolan itu akhirnya mampu menghapus rasa asing dan sangsi saya dalam waktu yang singkat.

                Setelah kami menikmati kudapan dan mandi, saya dan calon istri melapor diri kepada gugus tugas Covid 19 di lingkungan setempat. Kami menyerahkan hasil tes covid 19 kepada petugas. Kami sehat jadi tidak perlu dicurigai dan ditakuti. Hal itu terbukti kelak dari cerita salah seorang lae saya (salah seorang saudara laki-laki istri saya). Ia mengatakan bahwa awalnya ia takut mendekati kami karena kami pelaku perjalanan. Setelah dilihatnya kondisi kami sehat-sehat barulah ia berani mendekati kami.

                Setelah malam menggenanggi rumah, ruang depan kembali dipenuhi para keluarga. Lebih banyak orang yang datang dari pada yang hadir di sore tadi. Saya dan calon istri kembali duduk di tikar kebesaran. Orang-orang yang baru datang kemudian memberi selamat kepada kami, mengambil segenggam beras, menghambur di atas kepala kami sambil mengucapkan salam dan doa-doa. Setelah itu acara pun dimulai. Tua adat memulai pembicaraan dalam bahasa Batak. Saya yang “buta tuli” saat itu berusaha mengarahkan kemampuan linguistik saya untuk menangkap alur dan intisari pembicaraan.

Saya memperkenalkan diri. Saya ditanya apa maksud kedatangan saya, juga beberapa pertanyaan menyangkut keluarga saya, juga kelengkapan adminsitrasi urusan pernikahan kami, dalam bahasa Indonesia tentunya, dan saya menjawab pula dalam bahasa Indonesia. Lalu saya diperkenalkan dengan calon orang tua angkat saya, orang tua yang akan mewarisikan marga Batak kepada saya. Dalam waktu singkat saya bisa mengambil kesimpulan: calon bapak angkat saya pasti seorang yang tidak banyak bicara, sedangkan calon ibu angkat saya seorang ibu cantik yang kelihatannya agak ‘cerewet’. Bagaimana saya bisa menarik kesimpulan demikian? Saat perkenalan, calon ayah angkat saya hanya tersenyum kepada saya, tetapi calon ibu ini, dengan suara sopran langsung menyuruh saya membuka masker agar dia bisa memperhatikan wajah saya secara detail, lalu mengintrogasi saya dengan beberapa pertanyaan layaknya wartawan, kemudian mengakhiri introgasi dengan sebuah pernyataan: “jangan sekali-kali nanti kau tinggalkan anak kami ya? Awas kau”. Dengan sepontan saya menjawab. Ya, siap mama.

Kelak, keluarga inilah yang akan menjadikan saya ‘orang Batak sejati’. Merekalah yang akan repot di pihak saya dalam setiap urusan kami pada hari besok dan seterusnya karena saya diambil sebagai anak oleh mereka. Kadang dalam keisengan saya berpikir: mungkin dulu saat saya hendak diciptakan, Tuhan menyuruh malaikat menulis alur hidup perjalanan saya demikian. Mungkinkah Tuhan pernah berkata kepada Gabriel: “Hei Gab, jangan lupa ya, pada umur 34 nanti ia harus  mendapat istri dan  orang tua angkat dari suku Batak”. Dalam hati saya sangat bersyukur kepada Tuhan atas semua peristiwa bersejarah dalam hidup saya ini.

Selanjutnya para tetua adat bersama keluarga membicarakan rencana acara pernikahan kami. Segala sesuatu dipertimbangkan dengan matang karena acara kami akan berlangsung di tengah suasana pandemi covid 19. Saya menyimak setiap pembicaraan dengan sangat teliti. Mencari dan mengaitkan setiap makna pembicaraan (dalam bahasa Batak) melalui konteks dan menjalinnya dalam  sebuah alur pembicaraan. Akhirnya hasil pembicaraan dijelaskan kepada saya dalam bahasa Indonesia. Akan ada beberapa acara yang harus kami jalani dalam beberapa hari ke depan.

                Setelah pembicaraan selesai kami masuk dalam obrolan santai. Saya merokok tak putus-putus karena bahagia namun menolak untuk minum tuak. Sebenarnya saya suka merokok sambil minum minuman itu, hanya saja radar saya menangkap sorot ekor mata calon istri saya yang peduli terhadap lambung saya yang sudah sering ditambal sana sini dengan obat-obatan. “Awas kalau kau sakit saat acara nanti,” bisiknya.

 

Kupang, Januari 2022 Cq  Sidikalang, 25 Juli 2021


Post a Comment

Jangan lupa tulis komentarmu di kolom komentar

أحدث أقدم