Berkaitan dengan cerita ini ada hal yang perlu saya jelaskan. Idealnya, pernikahan adat Batak hanya dilakukan antara sesama orang batak saja. Namun, apabila seseorang dari luar suku Batak, seperti saya, menikah dengan orang asli Batak, orang dari suku luar tersebut harus diberi marga Batak untuk mempertahankan silsilah kekerabatan dalam suku Batak. Proses pemberian marga dilakukan dengan cara menjadikan orang luar tersebut sebagai anak angkat keluarga Suku Batak. Sebuah keluarga Suku Batak yang telah ditunjuk akan mengambil orang dari luar tersebut sebagai anak angkatnya sehingga orang luar tersebut akan dapat terhitung dalam anggota kekerabatan marga orang tua angkatnya. Setelah dijadikan anak angkat melalui upacara adat, anak angkat tersebut dianggap sebagai bagian dari keturunan sah dan berhak menyandang salah satu marga Batak. Dengan demikian sebelum memasuki upacara pernikahan kami, pada malam itu saya akan mengikuti upacara pemberian marga.
Ditemani hawa kota Sidikalang yang agak dingin saat itu, acara diawali dengan doa. Selanjutnya tua adat mulai memandu jalannya acara penagambilan marga. Saya duduk diam sambil berusaha mencerna setiap rentet proses yang berjalan namun saya sangat kesulitan memahaminya karena prosesi tersebut menggunakan bahasa daerah Batak. Akhirnya saya menyerahkan diri sepenuhnya kedalam prosesi, mengikuti alur yang mengalir sesuai intruksi-intruksi yang diberikan kepada saya dalam bahasa Indonesia.
Dalam prosesi tersebut tiba-tiba saya diminta beralih dari tempat duduk saya dan duduk di antara kedua orang tua angkat saya. Setelah itu saya dibungkus dengan ulos[1] oleh kedua orang tua angkat saya lalu tua adat melafalkan bahasa-bahasa adat. Selanjutnya para keluarga angkat saya datang dan memperkenalkan diri kepada saya sambil membungkus saya dengan ulos.
“Panggil saya mama besar”
“Panggil saya Bibi”
“Ini ommu, ini adik-adikmu”
Saya berusaha memusatkan perhatian saya untuk mengingat setiap keluarga saya.
Akhirnya prosesi perkenalan selesai. lalu, kami dihidangi nampan berisi daging ayam dengan susunan yang unik. Daging-daging ini, setelah dimasak, disusun kembali tiap anggota tubuhnya sehingga bentuknya persis seperti seekor ayam. Kelihatan sedap di pandang mata. Bumbu-bumbu dan aroma yang menggugah rasa sampai memompa hulu liur. Ketika sebuah nampan diletakkan persis di hadapan saya, tiba-tiba saya menjadi bimbang. Bagaimana jika saya disuruh menghabiskan satu nampan daging ayam ini? meski lezat, tentu saya tidak mampu menghabiskan senampan dalam sekali makan. Namun, kekuatiran saya lenyap setelah kami dipersilakan menikmati hidangan. Ternyata saya tidak diwajibkan menghabiskan senampan ayam tersebut. Syukurlah.
Akhirnya saya memiliki marga Silalahi, mempunyai orang tua, keluarga, dan rumah di Kota Sidikalang. Ketua adat menasihati saya agar kelak setelah sampai di tanah Timor saya tetap mengingat orang tua dan keluarga saya di Sidikalang. “Kau sudah di adatkan dan mendapatkan marga Batak. Sekarang kau sudah menjadi orang Batak. Jangan kau lupa, apalagi menyangkali itu!” Nasehat ketua adat.
Saya yakin Tuhan merancang semua ini untuk saya. Saya datang dari Timor seorang diri. Karena masa pandemi, dengan sangat terpaksa saya tidak ditemani oleh seorangpun keluarga dari Timor. Tetapi, sekarang saya telah mendapat keluarga yang akan mendampingi saya dalam urusan pernikahan. Bukankah itu sebuah anugerah?
Setelah prosesi selesai saya ditawarkan ibu saya untuk tidur di rumah baru saya. Namun, karena baru kali itu saya datang ke rumah orang tua angkat saya, saya agak kikuk. Lalu saya mohon izin untuk malam itu saya masih tidur dirumah calon mertua saya. Baru pada hari malam besoknya dan seterusnya saya tidur di rumah orang tua saya tersebut. Tak butuh waktu yang lama untuk penyesuaian saya menjadi sangat betah dan terbiasa dengan kondisi rumah. Saya telah menjadi anggota keluarga Bapak Daner Silalahi.
Tambolaka, 25 Desember 2022 Cq Sidikalang, 26 Juni 2021.
Sudah jadi orang Batak ya?
ردحذفإرسال تعليق
Jangan lupa tulis komentarmu di kolom komentar