Sumber gambar: https://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/e/e5/Eines_von_3_Massengr%C3%A4bern_in_Bergen-Belsen%2C_so_wie_es_von_den_Befreiern_vorgefunden_wurde%2C_1945.jpg

 Ditulis oleh: Jek Atapada

 

         Pada tahun 2005 muncul sebuah film biografi yang disutradarai oleh Riri Riza, berjudul Soe Hok Gie. Dalam salah satu adegan film tersebut, tokoh Ira (diperankan oleh Sita Nusanti), dalam sebuah acara api unggun, memetik gitar klasik dan menyanyikan sebuah lagu berjudul Donna Donna yang membuat lagu ini dikenal luas di Indonesia.

Lagu ini ditulis pada tahun 1941 oleh dua orang berketurunan Yahudi bernama Shalom Segunda dan Aaron Zeitlin dengan judul “Dana Dana”.  Saat lagu ini ditulis, kedua orang tersebut menetap di Amerika.  Mereka menulis lagu ini dalam bahasa Yiddi, sebuah bahasa Jerman yang dituturkan kaum Yahudi di Eropa Timur.  Lagu ini kemudian diterjemahkan oleh Arthur Keeves dan Teddi Schwards ke dalam bahasa Inggris pada tahun 1951 dengan judul “Donna Donna” dan pertama kali dibawakan oleh Joan Baez pada tahun 1960 dalam album pertamanya.

Lagu ini menceritakan kisah seekor anak sapi  yang sedang dibawa oleh sang petani ke pasar. Dalam bait pertama lagu ini diceritakan bahwa di atas sebuah kereta yang sedang menuju ke pasar ada seekor anak sapi  dengan mata yang menyedihkan. Di atas anak sapi itu terbang seekor burung layang-layang  dengan bebas melintasi angkasa.  Bait ke dua menceritakan bahwa angin menertawakan anak sapi tersebut. Angin itu tertawa dengan keras sepanjang hari sampai setengah musim panas. Bait-bait selanjutnya menceritakan tentang tanggapan sang petani terhadap kesedihan anak sapi tersebut. Bukannya bersimpati dengan kesedihan si anak sapi yang malang itu, sang Petani malah berkata:  “siapa yang menyuruhmu menjadi anak sapi? Mengapa engkau tidak mempunyai sayap sehingga bisa terbang bebas seperti burung layang-layang? Anak-anak sapi mudah diikat dan  disembelih tanpa tahu alasan, tetapi siapapun yang mendambakan kebebasan, ia harus belajar terbang seperti burung layang-layang.”  

Refrein lagu ini berupa kata “donna” yang diulang-ulang. Kata ini tidak memiliki padanan arti leksikal. Sumber tertentu mengatakan bahwa kata “dana” dalam versi lagu Yiddish adalah refrein umum dalam lagu rakyat Polandia. Aaron Zeitlin sebelum bermigrasi ke Amerika menghabiskan sebagian hidupnya di dunia berbahasa Polandia. Dengan demikian ada kemungkinan ia mengambil kata “dana” sebagai refrein lagu ini, mengikuti kebiasaan lagu rakyat Polandia. Sumber lain mengatakan bahwa kata “dana” ada hubungannya dengan kata “Adonai  (bahasa Ibrani), yakni sebuah kata yang dipakai oleh kaum Yahudi untuk menyebut nama Tuhan mereka. Jika demikian maka refrein dalam lagu ini berbentuk seruan memanggil nama Tuhan.

                Jika kita menilik konteksnya, lagu ini merupakan sebuah metafora. Dari tahun penulisan lagu dan latar belakang kedua penulisnya yang berasal dari keturunan Yahudi, dapat dipahami bahwa lagu ini menggambarkan penderitaan umat Yahudi saat bencana holocaust pada tahun 1940-an di bawah tangan besi Nazi. Kata Holocoust sendiri berasal dari bahasa Yunani: “holókauston” yang berarti binatang kurban yang dipersembahkan dengan cara dibakar. Semirip itu, saat itu jutaan orang Yahudi diseret seperti binatang kurban oleh sabda Hitler. Melalui desain tangan Adolf Eichman, orang kepercayaan Hitler, orang-orang Yahudi itu dibantai persis seekor anak sapi di rumah penjagalan, mereka digiring ke kamp-kamp konsentrasi dan dibunuh secara masal tanpa ampun dan belas kasihan. Melalui lirik-lirik lagu tersebut Shalom dan Aaron menceritakan betapa perih kehidupan kaumnya pada masa itu ketika harapan hidup mereka disabit pisau rezim Nazi yang buas. Bahkan, jika kita melihat lebih jauh ke belakang,  Setelah Kota Yerusalem dihancurkan oleh Penguasa Romawi pada tahun 70 masehi, perjalanan sejarah Bangsa Yahudi sebagai orang asing yang mencari tempat membaringkan kepala di negara-negara Eropa diwarnai dengan kekerasan, penderitaan, dan ketidakadilan yang ditimpakan oleh orang-orang Bangsa Eropa saat itu kepada mereka.

                Shalom dan Aaron tidak saja secara apik mengepak peristiwa kelam ini dalam larik-larik lagu “Donna Donna” tetapi juga menitipkan sebuah pertanyaan mendasar di dalamnya. Apakah Bangsa Yahudi telah memilih hidup seperti seekor anak sapi yang dirampas kebebasannya?

Rasanya tidak mungkin bahwa seorang atau sebuah bangsa di muka bumi ini menginginkan dan memilih hidup  yang penuh dengan penderitaan, apalagi hidup dalam belunggu kelaliman orang lain. Kalau begitu, apakah seseorang atau sebuah bangsa hanya menjalani alur hidupnya yang telah digariskan oleh sang waktu, persis aktor teater yang berakting di atas panggung, semua tingkah lakunya tidak boleh keluar dari alur yang telah ditetapkan oleh sang sutradara?

                Sebagai makhluk berkehendak, manusia dapat memutuskan untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu, manusia juga dapat memilih untuk mengalami atau tidak mengalami suatu kondisi. Dengan demikian manusia dapat menentukan nasibnya sendiri. Menentukan nasib adalah nama lain dari kegiatan menentukan eksistensi hidup di masa depan pada saat sekarang. Pilihan nasib manusia di masa depan ditentukan pada eksistensi saat ini. Begitu pula eksistensi manusia saat ini adalah hasil dari keputusan-keputusan yang dibuat pada masa lalu. Manusia dapat memilih untuk menjadi seperti seekor anak sapi yang diikat tali kekang, terbelenggu dalam kukungan penindasan baik secara fisik (penjajahan, perhambaan, dan sebagainya) yang dilakukan oleh pihak lain, atau secara nonfisik seperti terbelunggu dalam kebodohan, hedonisme, emosi, birahi, atau  sistem tradisi. Tetapi, manusia juga dapat memilih untuk terbang seperti burung layang-layang, melayang  bebas di atas semua belenggu itu, dan untuk mencapai itu manusia harus “belajar terbang”. Memang, ada kondisi di mana manusia tidak punya pilihan lain selain tercebur dalam suatu kondisi yang tidak diinginkan, bisa saja itu sebagai buah dari pilihan yang diambil oleh para pendahulunya pada masa sebelumnya, namun manusia tetap memiliki potensi untuk mengubah kondisi yang sedang dialaminya di masa depan, cepat maupun lambat, menikmati hasil perubahan atau hanya dapat mewarisi hasil perubahan itu kepada anak cucu dalam ruas-ruas alur waktu di depan sana.

Ketika merenungi  lirik-lirik lagu berjudul “Donna Donna” ingatan saya singgah pada sebuah kisah yang terjadi pada ribuan tahun lampau. Waktu itu, kira-kira sekitar tahun tiga puluhan masehi, seorang laki-laki dari Nazaret diseret kaum Yahudi ke pengadilan Romawi. Meskipun dalam penyelidikannya Sang Wali Negeri tidak mendapati kesalahan laki-laki tersebut, namun dalam kobaran amarah orang-orang Yahudi tetap saja ngotot agar orang Nazaret tersebut dijatuhi hukuman mati. Saat itu mereka dengan lantang berteriak kepada Pontius Pilatus: “Biarlah darah orang ini ditanggungkan atas kami dan atas keturunan kami.” Dalam cengkraman kama mereka dengan sadar telah memilih untuk menanggung darah orang yang tidak bersalah itu.

                Siapakah yang menyuruhmu menjadi anak sapi? Mengapa engkau tidak memiliki sayap untuk terbang bebas? Mengapa engkau tidak memilih terbang tinggi seperti burung layang-layang, melampaui lumpur kama yang menggenangi  hidup fana ini? Ini sebuah bentuk pertanyaan sarkastis  yang dilebur dari jeritan penderitaan, kesedihan, dan penyesalan dalam lumpur kenyataan yang terbangun dari sebuah pilihan yang pernah dibuat.

 

Desa Kelle, 15 Mei 2023

Sumber rujukan:

https://jakarta.suaramerdeka.com/hiburan/pr-1343486146/makna-lagu-donna-donna-dipopulerkan-joan-baez-lirik-kelam-korban-pembantaian-nazi

https://www.kompas.com/stori/read/2021/10/18/080000879/holocaust-pembantaian-jutaan-yahudi-oleh-hitler?page=all

https://jafarbuaisme.com/donna-donna-lagu-anak-sapi-yang-mendunia/

https://www.kompasiana.com/planetkesepian/627ce6608d947a5ad176cf82/yerusalem-kota-yang-dibangun-di-atas-reruntuhan

https://www.heyarai.com/2020/10/makna-lagu-donna-donna.html

Post a Comment

Jangan lupa tulis komentarmu di kolom komentar

أحدث أقدم