Catatan refleksi dari  kegiatan Workshop Peningkatan Profesionalisme Guru 
di Era Kurikulum Merdeka yang telah terlaksana di SMP N 2 Amanuban Selatan

Oleh: Jek Atapada

Guru SMP N Satap Fatuelak


Selama tiga hari Aula SMP Negeri 2 Amanuban Selatan dipadati para guru dari berbagai pelosok Kecamatan Kuanfatu. Mereka adalah para guru jenjang SMP se-Kecamatan Kuanfatu, peserta kegiatan Workshop Peningkatan Profesionalisme Guru di Era Kurikulum Merdeka yang diselenggarakan oleh MGMP kelompok XIII Kecamatan Kuanfatu Kabupaten Timor Tengah Selatan. Mereka datang ke tempat pelatihan melintasi jalan berlubang, berdebu.  Diantar oleh roda kenderaan mereka yang terantuk-antuk pada bebatuan jalan, mereka datang dengan berbagai sarana pelatihan, namun lebih penting  dari itu,  mereka datang dengan berbagai pengalaman yang membentuk persepsi mereka tentang kondisi dan masa depan pendidikan di daerah pelosok Kabupaten Timor Tengah Selatan, salah satunya adalah Kurikulum Merdeka. Mereka orang penting, mata tombak kemajuan pendidikan Indonesia. Dalam komputer pendidikan Indonesia, mereka adalah salah satu kepingan hardisk yang menyimpan memori  dan mimpi kemajuan pendidikan di Indonesia, kepingan hardisk yang bertebaran di sudut keheningan gugusan pelosok perkampungan. 

Selama tiga hari mereka menyediakan otak untuk dicekoki materi-materi tentang implementasi Kurikulum Merdeka yang dibawakan oleh para narasumber handal dari tingkat kabupaten. Para guru itu  menyimak, berlatih, kadang mengemukakan buah pikir tentang implementasi Kurikulum Merdeka yang sebentar lagi akan dijadikan kurikulum nasional. Terlihat semangat dan antusias mereka mengalahkan sengatan hawa panas yang mengompori kerigat tubuh di saat itu.

Dari kegiatan yang melibatkan hampir seratusan guru hebat ini muncul sebuah pertanyaan refleksi: apa yang membuat mereka datang untuk  mengikuti kegiatan tersebut?

Jika kita melihat ke belakang, berbagai sosialisasi dan pelatihan implementasi Kurikukulum Merdeka telah digencarkan sejak tahun 2022 setelah kurikulum ini dimunculkan dalam beberapa opsi pemberlakuan di tingkat satuan pendidikan. Sebagaimana kita ketahui, sekolah diberi kesempatan untuk menerapkan kurikulum merdeka dalam opsi mandiri belajar, mandiri berubah, dan mandiri berbagi. Sekolah yang memilih mandiri belajar diberi kebebasan untuk menerapkan beberapa bagian dan prinsip Kurikulum Prototipe[1], tanpa mengganti kurikulum satuan pendidikan yang sedang diterapkan pada satuan pendidikan PAUD, kelas 1, 4, 7, dan 10. Sekolah yang memilih mandiri berubah diberi keleluasaan menerapkan Kurikulum Prototipe dengan menggunakan perangkat ajar yang sudah disediakan pada satuan pendidikan PAUD, kelas 1, 4, 7, dan 10. Sedangkan,  sekolah yang memilih mandiri berbagi diberi keleluasaan kepada satuan pendidikan dalam menerapkan Kurikulum Prototipe dengan mengembangkan sendiri berbagai perangkat ajar pada satuan pendidikan PAUD, kelas 1, 4, 7, dan 10[2]. 

Bentuk pelatihan implementasi Kurikulum Merdeka pun dirancang untuk memberi kemudahan bagi para peserta pelatihan. Salah satu program andalan dalam implementasi Kurikulum Merdeka ini adalah penyediaan dan pemanfaatan Platform Merdeka Mengajar (PMM) berbasis online, yang mana sebagian besar materi disajikan dalam bentuk audio visual. Selain itu disediakan juga program-program lainnya seperti guru penggerak dan sekolah penggerak. Program-program ini tentu memiliki kelebihan dan kelemahan, tergantung situasi, kondisi, toleransi, pandangan, dan jangkauan (sikontolpanjang) para subjek pelatihan.

Salah satu kelebihan program-program yang disediakan secara online ini adalah mengefektifkan kapasitas ruang dan waktu. Contoh, kita dapat mengakses platform Merdeka Mengajar kapan saja dan di mana saja. Kita bisa mendengar pemaparan materi-materi melalui ponsel sambil bersantai di rumah, memberi minum ternak peliharaan, atau sambil memasak masakan kesukaan suami dan anak-anak.

Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa pelatihan dalam bentuk online mempunyai kendala teknis tersendiri pada daerah-daerah terpencil yang layanan internet dan listriknya belum memadai. Ditambah lagi beban membeli paket data bulanan yang jika dikalkulasi harganya tidak melebihi anggaran konsumsi sopi, rokok, tembakau, dan sirih pinang dalam seminggu. Ada juga kemungkinan kendala di luar teknis seperti anggapan bahwa sopi, rokok, tembakau, dan sirih pinang adalah kebutuhan hidup sedangkan mengakses platform Merdeka Mengajar bukanlah kebutuhan hidup.

Dalam kelebihan dan kekurangan di atas yang menemani kita sampai setahun lebih, pada 17 September 2023, Kepala Badan Standar Kurikulum dan Asesmen Nasional (BSKAP) Kemendikbud Ristek RI menyatakan bahwa tahun depan (tahun 2024) Kurikulum Merdeka akan dijadikan kurikulum nasional. Kebijakan ini diambil lantaran  data yang dihimpun menunjukkan bahwa sampai tahun 2022 sebanyak 140 ribu sekolah di Indonesia secara sukarela telah menerapkan kurikulum merdeka, bahkan total ada 300 ribu sekolah yang menerapkan kurikulum merdeka[3]. Artinya pemerintah menganggap bahwa antusiasme dan semangat para praktisi pendidikan di tingkat satuan pendidikan telah memadai dalam menerima, mempelajari, dan menerapkan Kurikulum Merdeka. Dengan demikian kurikulum ini sudah dapat dijadikan kurikulum nasional pada tahun 2024.

Namun, setelah satu tahun berlalu dengan euforia sosialisasi dan pelatihan implementasi Kurikulum Merdeka, data yang dipaparkan oleh salah satu narasumber dalam kegiatan pelatihan tersebut di SMPN 2 Amanuban Selatan menunjukkan bahwa tingkat partisipasi para guru di Kecamatan Kuanfatu terhadap akses platform merdeka mengajar, sekolah penggerak, dan guru penggerak masih sangat rendah. Apakah ini pertanda bahwa para guru dan kepala sekolah di Kecamatan Kuanfatu belum “nyaman” menerapkan Kurikulum Merdeka di sekolahnya?

Memang, pemberlakuan Kurikulum Merdeka terlihat sangat fleksibel sehingga dapat menimbulkan dua dampak: 1) memberi kesempatan yang luas kepada para praktisinya untuk berorientasi dan belajar, atau 2) menimbulkan mindsed para praktisi bahwa tidak perlu buru-buru mempelajari Kurikulum Merdeka alias santai saja dulu, nanti baru dipelajari.

Setelah meluncurkan Kurikulum Merdeka pada 11 Februari 2022. Mas Mentri, Nadiem Makarim menegaskan bahwa Kurikulum Merdeka merupakan opsi bagi satuan pendidikan. Sekolah-sekolah yang belum nyaman mengimplementasikan kurikulum merdeka masih diperbolehkan memilih opsi yang pertama, yakni boleh tetap menggunakan kurikulum 2013[4]. Hal yang menarik dari pernyataan ini adalah penggunaan frasa “belum nyaman” (bukan “belum siap”). Frasa “belum nyaman” menggambarkan ranah kondisi psikologis. Artinya, pemberlakuan kurikulum merdeka mempertimbangkan kesiapan psikologis para praktisi pendidikan di tingkat satuan pendidikan. Dengan demikian implementasi Kurikulum Merdeka yang dilakukan secara fleksibel ini bertujuan untuk memberi kesempatan yang luas bagi para praktisi agar dapat berorientasi secara baik dengan perubahan yang dilakukan sehingga tidak menimbulkan “efek kejut psikologis”. Dengan kata lain, kehadiran kurikulum ini diharapkan tidak menjadi sebuah beban tambahan dalam hidup para penyelenggaranya, yang sebagai manusia kadang berletih lesuh dan berbeban berat. Dalam konteks ini Mas Mentri tentu tidak mau berdiri di atas bukit dan berseru: marilah kepadaku semua yang letih lesuh dan berbeban berat, aku akan memberimu beban tambahan.

Jika kita cermati, metode yang digunakan Mas Mentri ini sejalan dengan konsep “merdeka” yang dikemukakan Ki Hajar Dewantara. Menurut Ki Hajar Dewantara, merdeka tidak saja bebas secara fisik namun juga secara batiniah, tidak bergantung pada orang lain[5]. Selain merdeka secara fisik, manusia yang merdeka secara batiniah memiliki insiatif yang timbul dari kerelaan hati untuk melakukan suatu hal, mandiri, berdiri sendiri. Manusia merdeka tidak seperti bunyi iklan dari salah satu perusahaan rokok: taat kalau ada yang lihat.

Apakah rendahnya minat para guru di Kecamatan Kuanfatu dalam mengakses platform merdeka mengajar serta program sekolah penggerak dan guru penggerak dikarenakan mereka belum merdeka secara batiniah? Tentu kita tidak dapat dengan enteng mengatakan “ya” karena ada banyak faktor yang perlu dipertimbangkan.  

Memang, setiap individu mempunyai sikap dan alasan sendiri dalam menghadapi perubahan yang terjadi.  Wustari, dalam bukunya Psikologi dalam Perubahan Organisasi, mengemukakan bahwa ada empat jenis sikap seseorang dalam menghadapi perubahan: 1) logika rasional, yaitu seseorang yang cenderung berlandaskan pada aspek logika dan rasional dalam bersikap dan bertindak menyikapi perubahan, 2) kontrol negatif, yakni sikap dan perilaku seseorang yang cenderung kurang mau melakukan perubahan dan ditampilkannya dengan sikap yang emosional,  3) fokus pada manusia yakni sikap seseorang terhadap perubahan yang cenderung untuk membela orang lain dengan berlandaskan pada aspek emosi, dan 4) positif kreatif, yaitu sikap seseorang yang cenderung untuk melihat perubahan secara positif dan berusaha untuk menerima serta berperan pada perubahan tersebut.  

Empat sikap di atas dipengaruhi oleh dua faktor penentu yakni faktor kemampuan dan faktor kemauan. Kedua faktor ini secara bersama-sama menampilkan sikap dan reaksi individu dalam merespons sebuah perubahan. Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa situasi dan kondisi pun berperan dalam pandangan individu terhadap perubahan. Seorang yang dalam kondisi tertentu menggunakan logika rasional bisa saja dalam kondisi lain menggunakan sikap positif kreatif dalam menyikapi perubahan, tergantung  kondisi dan situasi saat itu.

Tentu, untuk menyukseskan implementasi Kurikulum Merdeka sangat diperlukan sikap positif kreatif dari segenap pemangku kepentingan, termasuk para praktisi di tingkat satuan pendidikan. Fleksibilitas penerapan Kurikulum Merdeka hendaklah dipandang sebagai jalan untuk membentuk secara perlahan sikap positif kreatif guna mengantarkan diri kita kepada predikat penyelenggara pendidikan yang merdeka, sebagaimana konsep merdeka yang dikemukakan oleh Ki Hajar Dewantara. Apalagi kurikulum merdeka akan segera menjadi kurikulum nasional. Dengan demikian sikap positif para praktisi lapangan sangat diperlukan untuk menerima dan menyukseskan program tersebut. Sikap positif dimaksud dapat lahir dari cara berpikir yang positif.

Berpikir positif merupakan aktivitas berpikir yang dilakukan dengan tujuan membangun dan membangkitkan aspek positif pada diri kita, baik berupa potensi, semangat, tekad, dan keyakinan diri (Arifin, 2011:18).  Berpikir positif menimbulkan sikap positif dan sikap positif melahirkan budaya positif dalam diri kita untuk menerima dan menerapkan Kurikulum Merdeka dengan perasaan nyaman. Salah satu contoh budaya positif adalah mau beradaptasi dengan perubahan menuju sebuah kemajuan yang positif.

Tiga hari menyantap sajian materi pelatihan, para guru pun kembali ke tempat tugas masing-masing. Mereka pulang membawa sarana pelatihan yang telah digunakan, namun lebih dari itu mereka membawa pemahaman tentang implementasi Kurikulum Merdeka yang telah dipelajari dalam pelatihan tersebut. Mungkin sebagian guru mendapat hal-hal baru, sebagian lagi mendapat penyegaran kembali  terhadap konsep-konsep Kurikulum Merdeka. Mereka kembali dengan membawa pemahaman sekaligus tantangan untuk menerapkan konsep-konsep yang telah dipelajari dalam pelatihan tersebut.

Selain membawa tas, mereka juga membawa sebuah amanah untuk menyukseskan implementasi Kurikulum Merdeka di sekolahnya masing-masing. Akankah mereka menjadi guru yang merdeka dalam menjalani amanah tersebut? Merekalah yang lebih tahu jawaban atas pertanyaan ini. Namun, Kurikulum Merdeka sejatinya membutuhkan guru yang merdeka. Kembali pada konsep merdeka yang dikemukakan oleh Ki Hajar Dewantara: guru yang merdeka  adalah guru yang memiliki insiatif sendiri, dengan rela dan tanpa paksaan mau melakukan tugas dan tanggungjawabnya, termasuk menyukseskan implementasi Kurikulum Merdeka di tingkat satuan pendidikan demi kemajuan pendidikan di Negara Indonesia tercinta.

Tentu, sebagian manusia kadang tidak nyaman dengan perubahan jika telah berada dalam zona nyaman. Namun, sejatinya yang kekal dalam dunia ini hanyalah perubahan. Karena kita hidup dalam waktu dan waktu membawa hidup mengalir,  maka hanya perubahanlah yang dapat menandakan jalan kehidupan. Perubahanlah yang membedakan langkah pertama dan langkah-langkah selanjutnya.  

Meminjam perkataan salah satu pemateri dalam kegiatan pelatihan tersebut: mau atau tidak mau, suka atau tidak suka, kurikulum tetap akan berubah. Kunci untuk kita dapat menerima perubahan ini adalah kerelaan hati untuk menerimanya. Dengan kerelaan untuk menerima dan menerapkan Kurikulum Merdeka, kita menjadi guru yang merdeka, bebas dari tekanan psikologis. Kita menjadi guru yang nyaman menjalankan program implementasi  Kurikulum Merdeka tanpa merasa terbeban, apalagi tertekan oleh apa dan siapa, karena kita rela dan berinsiatif untuk melakukannya. Kita menjadi pemain, bukan permainan.

Di akhir tulisan ini, di antara ketukan tuts-tuts komputer yang mengantar bait-bait ide ke dalam untaian kalimat yang terasa begitu kering di bibir imajinasi, saya menghela diri saya dari sudut pandang seorang pengamat dalam tulisan ini kepada status sebagai salah  satu peserta kegiatan Workshop Peningkatan Profesionalisme Guru di Era Kurikulum Merdeka yang diselenggarakan di SMP Negeri 2 Amanuban Selatan beberapa hari lalu. Dengan agak malu saya bertanya kepada diri sendiri: apakah saya sudah merdeka? Angin malam yang angkuh, yang tak pernah mau merasakan hebatnya pertengkaran saya dengan diri sendiri, dengan enteng menjawab: “semoga Anda sudah merdeka.”


Fatuelak, 16 November 2023

 

 

 

Sumber Rujukan:

Arifin, Yanuar. 2011. 100% Bisa Selalu Berpikir Positif. Jogjakarta: DIVA Press

Mangundjaya, Wustari L.H. Psikologi dalam Perubahan Organisasi. Jakarta:  Swasthi Adicita

 


Catatan kaki

[1] Kurikulum Merdeka sebelumnya dikenal dengan nama Kurikulum Prototipe (https://pskp.kemdikbud.go.id/berita/detail/313037/kurikulum-merdeka-dengan-berbagai-)

[2] sumber: https://kurikulum-demo.simpkb.id/pilihan-ikm-mandiri/

[3] sumber: https://www.kompas.com/edu/read/2023/09/18/161052171/kurikulum-merdeka-jadi-kurikulum-nasional-di-2024?page=all#:~:text=Dian%20Ihsan&text=KOMPAS.com%20%2D%20Kepala%20Badan%20Standar,menjadi%20kurikulum%20nasional%20pada%202024.

[4] sumber: (https://ditpsd.kemdikbud.go.id/artikel/detail/luncurkan-kurikulum-merdeka-mendikbudristek-ini-lebih-fleksibel).

[5] sumber: https://www.kompas.com/stori/read/2023/08/03/100000979/manusia-merdeka-menurut-ki-hadjar-dewantara-

 

 

 

 

1 Komentar

Jangan lupa tulis komentarmu di kolom komentar

  1. Tulisan yang sangat menginspirasi terima kasih pak Jeck Telah berbagi pikiran sederhana yang berdampak besar bagi kemajuan pendidikan di wilayah ini

    BalasHapus

Posting Komentar

Jangan lupa tulis komentarmu di kolom komentar

Lebih baru Lebih lama