Sumber gambar ilsutrasi:https://images.app.goo.gl/xtrhsmcY8qh5ThZ97 

Dari balai-balai bambu tempat duduknya dia memandang jutaan kerlip bintang sambil meneguk segelas kopi. Dia setuju dengan pendapat bahwa memandangi langit adalah memandangi masa lalu. Tidak ada sekarang dan besok di sana, batinnya. Cahaya bintang menyusur alur ruang-waktu yang panjang. Saat sampai ke matanya, cahaya itu hanyalah  cahaya yang berasal dari beberapa menit, jam, hari, bulan,  bahkan berjuta-juta tahun lalu. Cahaya yang sampai ke matanya  hanya menambah akumulasi kenyataan yang tiba dalam status keterlambatan abadi.

Ruang-waktu selalu merampok kekinian, pikirnya. Jangankan kerlip bintang itu, seteguk kopi yang sedetik tadi menempeli bibirnya kini berstatus sepotong kenyataan yang pernah terjadi pada detik lalu. Saat tangannya menurunkan gelas dari bibirnya kemudian meletakkan gelas itu di atas balai-balai, kenyataan itupun sedang mengalir di selokan ruang-waktu dan segera berlalu dari saat itu.

Dia berpendapat bahwa ruang-waktu adalah biang kerok ketidak-abadian. Ruang-waktu membuat segala sesuatu berlalu dari kekinian. Dia ingat, Heraclitus pernah mengatakan itu. Bahwa, dia tidak dapat melangkah dua kali pada sungai yang sama. Kalau dia melangkah pada sungai untuk kedua kalinya, dia atau sungai sudah berubah. Segala sesuatu berubah. Termasuk dirinya.

Dia tiba-tiba merasa terombang ambing dalam laut kefanaan. Betapa fana keberadaannya dalam kekinian. Dia sadar bahwa dia terkatung dalam ruang waktu. Dia terkatung-katung dan ruang-waktu bergerak membawa kenyataan kepadanya sekaligus membawa kenyataan pergi darinya. Dia hanyalah seonggok puing eksistensi di ujung sepersekian detik kekinian. Itu pun dapat dia simpulkan karena  dia menjadikan dirinya sebagai titik pandang. Sedangkan, pengetahuannya yang hanya seluas testa belum bisa dia gunakan untuk memahami seluk beluk ruang-waktu itu secara utuh.

Tiba-tiba dia ingat akan cahaya mata kekasihnya. Kini dia sadar, ketika dia memandang kekasihnya, kekasihnya pada saat itu adalah kekasih dalam sepersekian detik saja. Dia dan kekasihnya dalam kekinian tergantung di ujung sepersekian detik. Dan, pada detik selanjutnya mereka hanyalah secuil cerita sepersekian masa lalu dalam lautan kenangan dan sejarah. Sementara mereka berdiri di kekinian, detik-detik berikut yang akan datang kepada mereka hanyalah potongan harapan yang belum tentu. Ya, belum tentu karena belum terjadi.

Dia pun terbahak menertawakan dirinya yang fana dan memilih menjalani kefanaan dengan rela. Tetapi, adakah yang abadi selain kefanaan? Adakah tempat dia meletak jangkar untuk berlabuh dari kefanaan? Di tangan Sang Pemilik ruang-waktu? Selain kefanaan, mungkin di situlah tempat paling abadi. Namun, siapa gerangan pemilik ruang waktu itu? Barangkali dia harus memejamkan kedua kelopak matanya untuk membaca aksara yang dapat membimbingnya kepada jawaban itu.

Desa Kelle, 26-08-2023

Jek Atapada

1 Komentar

Jangan lupa tulis komentarmu di kolom komentar

  1. Dengan banyaknya permenungaan tentang ruang dan waktu malam itu Dia menjadi manusia yang tercerahkan ketika memilih menjalani kefanaan dengan rela, Bukan dengan MAAF.

    BalasHapus

Posting Komentar

Jangan lupa tulis komentarmu di kolom komentar

Lebih baru Lebih lama