Pria asal Belu (salah
satu kabupaten yang sedaratan ibu kota Propinsi NTT) ini memikul
kisah pelik saat menyelesaikan kuliah pada jenjang strata satu. Ia bernama Marselinus Areu. Ayah dan ibunya
bekerja sebagai petani pengais tanah Timor yang gersang demi menjahit hidup. Marsel merupakan
anak ke empat dari empat bersaudara. Ia memiliki
dua saudara laki-laki dan dua saudara perempuan. Pendidikan para saudaranya
hanya mentok pada ijazah sekolah dasar. Marsel merupakan satu-satunya anak dalam
keluarganya yang sempat mengecap pendidikan sampai bangku kuliah.
Tahun 2006 Marsel
mendaftar sebagai mahasiswa pada Program Studi Pendidikan Bahasa Sastra
Indonesia dan Daerah Universitas Nusa Cendana (Undana) di Kota Kupang. Dari
kampungnya, berbekal uang satu juta lima ratus ribu rupiah, satu kantung tepung
jagung, dan satu botol minyak goreng bantuan
pemerintah, ia berangkat ke Kota Kupang untuk mendaftar kuliah. Uang satu juta
rupiah digunakan untuk registrasi semester pertama dan melunasi tetek bengek administrasi
pendaftaran di kampus. Selanjutnya dengan uang lima ratus ribu rupiah dan
tepung jagung, serta minyak goreng yang dibawanya, ia mempertahankan aktivitas
perkuliahan, juga mempertahankan perutnya pada masa awal kuliah.
Marsel tinggal di
asrama kampus Undana. Sebagaimana kehidupan sebagian anak asrama, kehidupan Marsel
masuk dalam kategori memprihatinkan. Kondisinya
yang berkekurangan tampak dalam kehidupannya sehari-hari. Selama empat tahun
lebih berkuliah, Marsel hanya memiliki sepasang sepatu. Sepatunya itu mirip
sepatu hansip[1],
terbuat dari bahan kulit dengan dasar yang keras sehingga memperpanjang masa kegunaannya
di kaki Marsel. Selama masa kuliah, Marsel juga hanya memiliki dua helai kemeja (satu helai kemeja baru dibelinya saat
semester empat) dan dua buah celana jeans.
Di kamarnya ada sebuah ricecooker tua dan satu buah kompor
minyak. Untuk sekali makan, ia hanya menanak satu cangkir (ukuran 120 ml.) beras dalam ricecooker
itu. Dengan demikian, beras seliter yang dibelinya bisa bertahan sampai empat
atau lima hari. Untuk menghemat beras, ia
juga sering menggoreng tepung yang dibawanya dari kampung untuk makan seharian.
Dia juga membeli jagung bose[2]
sebagai pengganti beras.
Untuk urusan sayuran,
Marsel punya cara sendiri. Setiap sore ia melakukan joging mengintari lingkungan
kampus. Ia memilih jalur bagian pinggiran halaman kampus di mana tumbuh batang singkong,
pepaya, atau pohon kelor dari cela karang. Saat ia sampai pada salah satu pohon
sayuran, ia akan berhenti sebentar, memetik beberapa helai daun sayuran,
kemudian melanjutkan joging. Daun sayuran itu dimasukkan ke kantong plastik
kecil yang sudah ia persiapkan, kemudian disimpan di dalam kantong celana. Beberapa
pohon sayuran akan ia singgah sebelum menuntaskan jogingnya dan kembali ke
asrama. Dedauan sayuran itu kemudian dimasak di atas kompor minyaknya, diberi
kuah yang banyak agar perut menjadi kenyang saat dimakan. Begitulah
kehidupannya selama kurang lebih satu tahun sejak masuk kuliah.
Meskipun demikian,
Marsel anak periang yang lupa mengiba keadaannya. Dia hanya rutin membagi remah pedihnya dengan
Sang Pencipta. Tiap malam ia berlutut di depan kaki Bunda Maria, memanjatkan
novena yang panjang, kadang sambil mengusap air mata di tengah rapalan doanya. Hal
itu selalu dilakukannya secara runtin selama ia menjalani studi di Kota Kupang.
Setelah menyelesaikan doa, ia akan melanjutkan aktivitas belajar di malam
panjang . Kadang ia belajar sampai subuh, asyik menyelesaikan tugas-tugas
kuliah, membaca berbagai buku refrensi, mengejar ketertinggalannya. Kegiatan
belajar seperti itu tidak hanya menambah wawasan berpikir, namun juga menambah
pemasukan keuangan Marsel. Teman-teman seprogram mata kuliah yang tidak sempat
mengerjakan tugas, ketika ingin bergabung sekelompok dengan Marsel, harus
membayar sejumlah uang sebagai penghargaan atas kecapaiannya, biaya sewa jasa pengetikan
dan print out tugas di rental
komputer. Hasilnya cukup lumayan. Uang-uang itu ia gunakan untuk membeli beras
dan sayuran.
Di atas kekurangannya, Marsel
punya jadwal belajar teratur. Ia selalu menyelesaikan tugas-tugas kuliahnya
tepat waktu. Jika tidak paham sebuah materi kuliah, ia akan bertanya kepada
diri sendiri tentang apa yang
menyebabkan ketidakpahamannya, kemudian ia akan mencari sahabat-sahabatnya dan
berdiskusi tetang bagaimana cara memahami materi tersebut. Oleh ketekunannya,
akhirnya Marsel lolos sebagai penerima beasiswa kampus sejak pertengahan
semester ketiga sampai semester kedelapan.
Beasiswa tersebut digunakan untuk melunasi biaya sewa asrama yang selalu
membengkak karena tidak pernah dibayar sebelumnya, juga disisihkan sebagian
untuk biaya registrasi semester serta memenuhi kebutuhan lainnya.
Selain kondisi ekonomi,
ada hal lain yang menantang semangat belajar Marsel. Dua hal yang harus Marsel hadapi:
pertama, tugas-tugas perkuliahannya kebanyakan berupa makalah dalam bentuk hardcopy/ print out komputer, sementara ia belum melek teknologi dan tidak memiliki laptop
maupun mesin printer. Kedua, tugas-tugas kampus kebanyakan ditulis dalam bentuk
makalah, sementara di SMA Marsel tidak terbiasa menulis dan jarang membaca
buku. Kedua hal ini menodongnya namun ia tidak angkat tangan. Ia memilih angkat
tinju, melawan dan menaklukkan persoalan tersebut.
Untuk mengatasi masalah
gagap teknologi, Marsel punya cara jitu. Rental-rental komputer di Kota Kupang
saat itu menyewa jasa komputer dengan harga pemanfaatan fasilitas perjam dua
ribu lima ratus rupiah. Marsel rajin
mengunjungi tempat ini, berlatih mengetik dan memprint. Satu saat, dengan nekat Marsel mengetik sendiri tugasnya di
rental komputer. Saat ia memprint out
hasil mengetiknya, ternyata huruf-huruf tercetak dengan font 16. Karena belum tahu cara
menyeting font, lagi pula petugas
rental sibuk sehingga tak kunjung menolongnya dalam musibah itu, ia terpaksa membayar ongkos print out dan pulang ke asrama. Besoknya, Marsel mengumpul tugas yang
cacat teknis tersebut kepada Dosen. Saat
pengumpulan, ia menyisipkan pekerjaannya itu di cela-cela tumpukan pekerjaan
teman lain sehingga ketololannya tidak
sempat diketahui teman-teman. Lambat laun, oleh kegigihannya dalam berlatih,
akhirnya Marsel lincah mengoperasikan komputer.
Memasuki awal semester
III, Marsel tidak memiliki uang untuk membayar registrasi. Ia telah mengirim
pesan kepada orang tuanya di kampung, namun sampai tiga hari menjelang ambang
batas masa regis pun ia belum mendapat kiriman uang dari orang tuanya untuk membayar regis. Ia memang telah mengisi data pengusulan
beasiswa kampus, namun belum dipastikan
apakah ia lolos seleksi administrasi. Ia merasa besar kemungkinan akan berhenti
kuliah karena tak sanggup membayar biaya registrasi. Uang sejumlah lima ratus
ribu rupiah merupakan jumlah yang besar bagi Marsel yang pada masa tersebut berlatar
belakang kondisi ekonomi yang sangat memperihatinkan. Pada malam itu ia menemui
jalan buntu. Ia hanya menyalakan lilin, berlutut dan mencurahkan buncah kesesakannya
dalam doa.
Keesokan harinya Marsel
tidak masuk kampus. Ia mengunjungi siapa pun yang muncul di benaknya untuk
meminjam uang. Di bawah garang terik matahari dari ubun-ubun langit, ia
mengunjungi kerabat dan kenalannya yang berkuliah di Kota Kupang, memohon pinjaman
dari orang-orang yang dijumpainya. Satu dua orang mau meminjamkan uang, namun
hanya menyanggupi sepersepuluh dari jumlah uang yang dibutuhkan Marsel. Itu pun
belum bisa diberikan hari itu. Sampai sore, Marsel pulang ke asrama dengan dengan
tangan hampa.
Hari berikutnya Marsel
masih berusaha mencari pinjaman. Hari itu ia pergi menemui rekan-rekannya seorganisasi Fosmab (Forum
Organisasi Mahasiswa Belu) di Kota Kupang. Di sana rekan-rekannya menyarankan
agar ia meminjam dana dari koperasi. Menemui solusi, Marsel kembali ke asrama
dengan bersemangat. Sesampai di asrama barulah ia sadar bahwa ia tidak memiliki
jaminan apapun sebagai syarat meminjam uang koperasi. Akhirnya Marsel pasrah
karena tingal sehari saja masa registrasi dibuka.
Di hari terakhir masa
registrasi, keberuntungan baru berpihak pada Marsel. Akhirnya ia mendapat kiriman uang dari orang tuanya. Meskipun
demikian, uang kiriman orang tuanya belum mencukupi kuota jumlah regisnya. Ayah
dan ibunya terpaksa menjual kaibauk[3]
untuk biaya registrasinya. Menggenapi kekurangannya, Marsel meminjam
uang dari seorang kerabatnya yang juga sedang berkuliah di Kota Kupang. Dengan
penambahan dari pinjaman itu ia membayar biaya registrasi.
Sedikit kelebihan uang hasil
pinjaman disisihkan Marsel untuk membeli
sekilogram gula pasir, sebungkus rokok, dan serenteng kopi tugu buaya. Membayangkan nasibnya ke depan, Marsel
mencoba usaha berjualan di asrama. Sekilogram gula dijualnya dengan cara membaginya
ke dalam bungkus-bungkus kecil, seharga dua ribu rupiah perbungkus. Ia juga
mengecer sebungkus rokok menjadi tiga batang seharga lima ribu rupiah, dan dari
serenteng kopi dijualnya dua ribu lima ratus rupiah pertiga bungkus. Begitulah
ia memulai usahanya.
Kian hari kios Marsel
semakin berkembang. Ada lebih dari seratus orang penghuni asrama saat itu,sedangkan
kios yang tersedia ada empat, termasuk kios Marsel. Untuk lebih mengisap
peluang, Marsel melayani pelanggannya
dua puluh empat jam. Pada jam tiga subuh pun Marsel siap digedor
pintunya untuk belanja anak asrama yang bergadang. Memasuki semester empat, kios
yang juga merupakan kamar Marsel sudah diwarnai berbagai barang jualan yang
tertata di dalam lemari keranjang. Meskipun
usahanya sudah mulai berkembang, Marsel selalu berjalan kaki ke toko grosir
yang berjarak sekitar tiga kilo meter. Dengan memikul barang-barang orderan ia
berjalan kaki kembali ke kiosnya. Menurutnya, dengan demikian ia mendapat dua
keuntungan: hemat sekaligus sehat.
Suatu sore di bulan Oktober
tahun 2007, Marsel berjalan-jalan di lingkungan kampus. Untuk menghemat
pengeluaran untuk makan, ia ingin mencari lahan untuk menamam jagung dan sayuran
karena musim penghujan akan datang. Kedengarannya aneh. Bagaimana mungkin
mencari sebidang tanah seperti mencari daun singkong di pinggiran kampus? Akan
tetapi rupanya Marsel punya perhitungan sendiri. Ia menjumpai seorang penjaga
ternak Fakultas Peternakan yang sore itu sedang membersihkan lahan di sekitar
kandang ternak. Ia meminta seditik lahan di sekitar kandang ternak untuk
ditanami jagung dan sayur. Marsel menceritakan sedikit gambaran kehidupannya
kepada penjaga tersebut. Akhirnya penjaga
ternak itu memberi sepetak lahan berkuran sekitar 15 x 10 meter kepada Marsel
untuk menanami jagung dan singkong. Sejak saat itu setiap sore Marsel meluangkan
waktu menyiapkan kebun dan menanaminya dengan jagung, singkong, dan
kacang-kacangan secara tumpang sari. Beberapa bulan berikutnya Marsel kelimpahan
sayuran dan jagung hasil panen dari kebunnya.
Memasuki semester
empat, kehidupan Marsel berjalan stabil. Putaran keuangan kiosnya lancar,
lagipula ia lolos seleksi administrasi sebagai penerima beasiswa kampus. Ia sudah
dapat melunasi registrasi kuliah dari
hasil kios dan beasiswanya, meski harus menekan beberapa pengeluaran lainnya. Ia
juga sudah sempat membeli sebuah kemeja untuk kuliah. Bahkan saat menyongsong
hari besar seperti hari natal di bulan Desember, ia mengirim oleh-oleh sekadarnya
untuk keluarganya di kampung. Marsel pun
tetap giat belajar dan tetap menekuni ritual sujud di depan Bunda Maria secara
runtin meskipun rutinitas di kios dan kebunnya menyita waktu.
Memasuki semester sembilan, Marsel telah
menyelesaikan ujian sikripsi. Namun, persoalan kembali hadir. Penyusunan
proposal penelitian hingga ujian skripsi menyedot isi kantong keuangannya
hingga kerontang. Padahal ia masih memerlukan uang sejumlah satu juta dua ratus
ribu rupiah dalam jangka waktu beberapa hari ke depan untuk registrasi wisuda. Belum lagi ia harus mempersiapkan
hal-hal lain yang berkaitan dengan wisudanya. Marsel merasa tak tega meminta
uang kepada ayah dan ibunya. Ia tahu benar ayah dan ibunya sangat
berkekurangan. Akhirnya Marsel mengambil keputusan untuk tidak mengikuti wisuda
pada periode Februari 2011. Ia berencana menemui pihak rektorat untuk
mengajukan permohonan penundaan wisudahnya ke periode selanjutnya agar ia berkesempatan
mengumpulkan uang. Beberapa hari menjelang penutupan pendaftaran wisuda, ketika
Marsel hendak menemui pihak rektorat untuk menundah wisudanya, tiba-tiba muncul
keyakinan dalam hatinya bahwa ia akan menemui solusi menggapai wisuda pada
periode tersebut. Timbul lagi niat Marsel untuk mencari pinjaman uang. Beberapa
orang pun ditemuinya untuk meminta pinjaman namun hasilnya nihil.
Suatu pagi, dua hari
sebelum pendaftaran wisudah ditutup,
ketika Marsel sedang minum kopi bersama salah seorang sahabat seasramanya, tiba-tiba
sahabatnya menyorong sebuah amplop kepada Marsel. Melihat isinya, Marsel
bingung. Respons Marsel disambut sahabatnya dengan senyum. Sahabatnya menjelaskan bahwa ia baru menjuarai
sebuah event lomba menulis tingkat
nasional pada bulan Oktober lalu. Hadiahnya lumayan. Sahabatnya merasa bahwa
uang hadiah itu sebagian adalah uang Marsel yang dititip Bunda Maria, dan harus
ia berikan kepada Marsel, meski hanya cukup untuk registrasi wisudah.
28 Februari 2011 Marsel
dikukuhkan sebagai sarjana pendidikan. Didampingi orang tuanya, Marsel mengikuti
prosesi wisuda di aula rektorat. Hari itu juga, bersama beberapa wisudawan yang
tinggal seasrama dengannya, Marsel
merayakan syukuran wisuda dalam pesta kecil. Besoknya, Marsel membagi barang-barangnya yang hanya seberapa kepada beberapa sahabat seasramanya yang masih akan
menuntut ilmu di bangku kampus. Setelah itu, menggunakan bus, ia pulang ke kampung halamannya. Marsel pulang
dengan membawa lemari keranjang jualannya. Ketika ditanya mengapa ia membawa
barang rongsokan itu, ia menjawab: “benda ini sebagai saksi dan bukti suka duka saya. Saya akan menunjukkan kepada
anak-anak saya nanti, saat saya menceritakan pengalaman saya kepada mereka.”
Kini Marsel bekerja
sebagai guru di SMA Negeri Lurasik,
sebuah sekolah yang terletak di Kabupaten Timor Tengah Utara, Propinsi NTT. Bersama
beberapa temannya, ia menggagas pendirian SMA Negeri Raimanuk di Kabupaten Belu,
sekaligus menjadi salah seorang pengajar di sana. Marsel menikah, memiliki dua orang anak yang masih kecil. Ia punya pesan
dalam kenangan kuat yang akan diceritakan kepada kedua anaknya itu ketika
mereka beranjak mengerti. Dalam setiap kesulitan selalu ada jalan bagi
orang-orang yang tetap sabar, tekun, ulet, dan bersandar kepada Dia yang Maha
Kuasa. Itulah tapak tilas yang ia pahat di atas karang Kota Kupang sebagai
tanda kemenangan yang akan ia kisahkan.
18 Oktober 2019
[1]
Hansip: pertahanan sipil.
[2]
Jagung bose: biji jagung yang ditumbuk hingga terkelupas kulit arinya,
merupakan salah satu kuliner khas NTT.
[3]
Kaekbauk (bahasa Tetun): mahkota yang terbuat
dari perak, sebagai salah satu eksesoris pakaian adat suku Tetun di Timor.
(Cerita ini masuk dalam 50 besar Lomba Cerita Inspiratif 2019 Tingkat Nasional yang diselenggarakan oleh @ikutlomba https://ikutlomba.org/pengumuman-pemenang-lomba-cerita-inspiratif-nasional/ )
Baca juga:
Sesungguhnya masa depan itu sungguh ada. 👍
BalasHapusPosting Komentar
Jangan lupa tulis komentarmu di kolom komentar