Kami sedang menyeberangi laut sepanjang pantai timur Kalimatan, tempat sungai-sungai tumpah dari pegunung membawa beribu kisah. Di atas kisah-kisah itu kami sedang meninggalkan Kota Tarakan dan merayap menuju Kota Nunukan, ibu kota kabupaten Nunukan. Di pelabuhan Nunukan beberapa petugas tentu sedang menunggu kedatangan rombongan kami. Atau mungkin saja mereka sudah jenuh menunggu. Mungkin di antara mereka ada yang bersungut: ah, terlalu lama.
***
Di penghabisan senja kami tiba di sebuah kompleks bernama Balai Pelatihan Ketenagakerjaan (BLK). Ini tempat pelatihan para tenaga kerja Indonesia (TKI) yang menempuh jalur legal untuk mengadu nasib di negeri Jiran. Sebelum para TKI diberangkatkan untuk membantu orang-orang asing, beberapa minggu di tempat ini mereka harus diberi bekal pelatihan. Dengan demikian mereka akan berangkat tidak saja dengan mengenakan otot tetapi juga membawa otak cemerlang. Jika seluruh TKI mengikuti jalur seperti ini, mungkin bencana kekerasan fisik yang sering dialami TKI, yang sering dipamer di berita-berita media, dapat diminimalisir.
Kompleks balai ini terletak beberapa kilometer dari pusat Kota Nunukan. Tadi, sesampai di pelabuhan speed boad Kota Nunukan, para penjemput dari dinas perhubungan mengarahkan kami naik bus. Bus membawa kami ke kompleks BLK ini. Kami tiba di sini menjelang malam. Petugas BLK mengarahkan kami menempati dua gedung penginapan. Peserta jenis pria dan jenis wanita masing-masing menempati satu gedung. Di dalam gedung terdapat fasilitas pembaringan tubuh. Ada beberapa tempat tidur bertingkat, lengkap dengan kasur. Juga ada beberapa lemari tempat menyimpan pakaian dan perlengkapan lainnya. Masing-masing kami memilih satu tempat pembaringan tubuh. Ada juga dua atau tiga orang menggunakan satu tempat tidur. Mereka kongsi.
Sekitar pukul sembilan belas koordinator rombongan meminta kami mengumpul uang untuk membeli makan malam. Menurut beberapa informan, letak warung makan agak jauh dari tempat penginapan kami sehingga cara efektif untuk manejemen urusan makan malam rombongan saat itu adalah dengan mengutus beberapa orang untuk membeli makanan dan air minum.
Setelah menyerahkan uang, saya mendapat jatah masuk kamar mandi. Satu ember air menjalar ke tubuh saya. Setelah menyabun tubuh dan membilas berulang-ulang dengan air, kulit saya tetap terasa licin. Mungkin air di bak sudah lama tidak diganti petugas, atau memang air Kota Nunukan yang demikian, entahlah. Beberapa rekan yang telah selesai mandi pun membicarakan hal itu. Tetapi bagi saya, selagi hal itu tidak mengubah saya menjadi belut, tidak masalah. Meminjam penggalan puisi Soe Hok Gie saya berbisik kepada sisah air di tubuh saya: aku terima kau dalam keberadaanmu seperti kau terima daku.
Setelah makan malam, bersama beberapa teman kami berbagi cerita dengan petugas BLK. Ada beberapa informasi dari petugas BLK yang mengusik pikiran saya sebelum kantuk menggayang mata dan menjadikan saya seonggok daging tanpa kesadaran sampai pagi. Kelak, ketika kami sampai di tempat tugas, cerita-cerita itu pun akan sempat mengganggu kami.
Pagi-pagi
kami tidak kesulitan mencari sarapan. Ternyata ada tiga kedai kecil mengepung
keberadaan kami. Rupanya tadi malam petugas BLK tidak memberitahu keberadaan
kedai-kedai tersebut kepada koordinator. Mungkin petugas itu berpikir bahwa level
kami adalah warung-warung bersertifikasi. Padahal minum kopi dan makan di kedai kaki lima lebih asyik dan
lebih murah. Itu dunia paling cocok buat orang-orang biasa sejenis saya, itu
rumah paling cocok merangsang imajinasi sebelum melakoni kisah drama kehidupan selanjutnya di Tanah Borneo.
Kupang, 4 Maret 2021 cq Nunukan, Oktober 2012
By: Jek Atapada
Posting Komentar
Jangan lupa tulis komentarmu di kolom komentar